Kamis, Juni 19, 2025

343 TPA Ditutup, Pakar UGM Ingatkan Pentingnya Desentralisasi dan Kesadaran Baru Pengelolaan Sampah

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Sebanyak 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) open dumping atau pembuangan sampah terbuka di sejumlah wilayah di tanah air akan ditutup. Termasuk TPA Piyungan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penutupan ini bukan sekadar memunculkan persoalan teknis pengelolaan sampah, namun kebijakan ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam tata kelola lingkungan yang menuntut kesiapan sistemik dari pemerintah daerah serta kesadaran kolektif masyarakat. 

Dosen Teknik Kimia UGM sekaligus Pemerhati Pengelolaan Lingkungan Dr. Ir. Wiratni Budhijanto, S.T., M.T., Ph.D., mengatakan, penutupan TPA open dumping merupakan konsekuensi logis dari kondisi eksisting sudah jauh melampaui kapasitas desainnya.

Menurutnya, secara prinsip saat ini terjadi di seluruh daerah terdapat dua jenis sistem pengelolaan akhir sampah, yaitu open dumping dan sanitary landfill

Dalam sistem open dumping, berarti sampah hanya ditumpuk begitu saja tanpa perlakuan lebih lanjut, sedangkan pada sanitary landfill, setiap lapisan sampah harus diurug dengan tanah agar proses pembusukan berjalan lebih baik dan dampak lingkungannya dapat ditekan. TPA di berbagai daerah semestinya mengadopsi sistem sanitary landfill. Namun, realitanya tidak selalu demikian.

“Karena sampah datang terus, pemerintah nggak bisa nunggu tanahnya ada atau bisa dibeli. Akhirnya, TPA yang seharusnya sanitary landfill jadi open dumping juga. Padahal ini jelas tidak boleh,” jelasnya. 

Selain memperburuk bau dan estetika, sistem terbuka ini juga menyebabkan proses pembusukan sangat lambat, menciptakan ‘gunung sampah’ tak kunjung hilang. TPA Piyungan sendiri, lanjutnya, sudah sejak lama menunjukkan tanda-tanda kritis.

Selain volume jauh melebihi kapasitas rancangannya, keberadaan permukiman semakin mendekat ke kawasan TPA menambah risiko sosial dan kesehatan. Keputusan untuk menutup TPA tersebut tidak bisa dilepaskan dari urgensi multidimensi, mulai dari teknis, ekologis, hingga sosial.

“Sejak lima atau sepuluh tahun lalu sebetulnya TPA Piyungan itu sudah penuh. Dari aspek desain, lingkungan, dan sosial, memang sudah tidak layak lagi digunakan,” tegasnya. 

Namun, dibalik urgensi penutupan itu, Dr. Wiratni melihat momen ini sebagai peluang besar untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap sampah. Selama ini, keberadaan TPA justru memperkuat kebiasaan buruk membuang sampah tanpa pikir panjang.

“Kalau TPA ditutup, masyarakat jadi mikir. Buang sampah jadi susah, kita mulai introspeksi. Makan jangan sampai sisa, kemasan dikurangi, bawa tumbler sendiri. Ini mendidik,” ujarnya. 

Di sisi lain, kebijakan ini juga menguji kesiapan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem desentralisasi pengelolaan sampah, dimana setiap kabupaten/kota bertanggung jawab atas pengelolaan sampahnya sendiri. Dr. Wiratni menggambarkan kondisi ini seperti melepas bayi ke jalan raya.

“Kalau kabupaten dan kota belum siap, dilepas langsung ya panik. Tapi saya lihat semua daerah sekarang sedang berusaha keras menyikapi ini,” ungkapnya. 

Menurutnya, desentralisasi yang ideal seharusnya dilakukan secara bertahap, disertai dukungan teknis dan pendampingan dari pemerintah provinsi maupun pusat.

Terkait upaya sosialisasi dan edukasi, ia menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah sudah berusaha melakukan berbagai pendekatan, termasuk dengan melibatkan fasilitator di tingkat kelurahan untuk mengedukasi warga terkait pengelolaan sampah rumah tangga. Namun, tantangan utamanya bukan pada kurangnya informasi, melainkan pada resistensi kebiasaan.

“Sampah itu selalu dianggap bukan tanggung jawab kita. Kita merasa punya hak untuk dilayani, bukan kewajiban untuk mengurangi. Mengubah paradigma seperti ini nggak gampang,” ujarnya.

Itulah sebabnya, ia menilai keberhasilan kebijakan apapun tidak mungkin tercapai jika masyarakat tidak mengubah perilaku dasarnya. (*)

Editor : Hendrati Hapsari

Read more

Local News