PanenTalks, Denpasar – Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah Bali menggelar Musyawarah Provinsi (Musprov) VII dengan sukses.
Secara aklamasi, Prof. Dr. Made Suarta terpilih sebagai Ketua APTISI Bali untuk periode 2025-2029. Proses pemilihan yang berlangsung cepat dan kondusif ini mendapat pujian dari Ketua Umum APTISI Pusat.
“Alhamdulillah, aklamasi dalam waktu singkat ini menjadi pembelajaran di APTISI. Kami tidak ingin terjadi deadlock seperti di daerah lain,” ujar Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat periode 2025–2030, Budi Djatmiko, M.Si., M.E.I., dalam sambutannya.
Dalam kesempatan tersebut, Budi Djatmiko tak ragu menyoroti tantangan terbesar dan paling mendesak yang dihadapi perguruan tinggi swasta (PTS) ke depan: Robotisasi dan Artificial Intelligence (AI). Ia menyebut isu ini sebagai “isu paling krusial” yang berpotensi mengubah total lanskap pendidikan tinggi.
“Isu paling krusial adalah robotisasi Artificial Intelligence (AI). Bahkan, teknologi implan memori, seperti yang dilakukan oleh Elon Musk dan Tiongkok, bisa menjadi pesaing kampus.
Singkatnya, mau ahli apa tinggal pasang implan,” jelas Budi Djatmiko, menggambarkan betapa cepatnya kemajuan teknologi yang akan datang.
Menurutnya, kecepatan adopsi AI di kalangan mahasiswa Gen-Z sudah jauh melampaui kemampuan adaptasi dosen.
Mahasiswa dengan mudah menggunakan AI untuk tugas, sementara banyak dosen masih tertinggal. Ia menekankan bahwa AI, yang mampu mengumpulkan big data secepat perpustakaan ribuan buku, adalah alat yang legal dan harus disikapi secara adaptif, bukan ditolak.
Perkembangan ini akan menggeser paradigma lama. “Kampus berbasis tembok sekarang bergeser kampus berbasis cloud,” tegasnya. Transfer ilmu pengetahuan (knowledge transfer) tidak harus lagi dilakukan melalui tatap muka, dan kehadiran fisik di kampus hanya diperlukan untuk masalah yang benar-benar krusial.
Model pendidikan juga harus berubah total. Anak-anak Gen-Z tidak lagi betah berlama-lama mendengarkan ceramah; penelitian menunjukkan batas konsentrasi mereka hanya 3 hingga 5 menit. Oleh karena itu, konsep yang harus diajarkan kampus sekarang adalah “learn how to learn”, yakni bagaimana meningkatkan kemampuan belajar itu sendiri.
Budi Djatmiko memberikan analogi pahit: “Kalau PT Pos tidak bisa menyesuaikan, ya sudah tumbang.
Demikian juga dengan kampus. Jika kampus sekarang mengandalkan kampus berbasis tembok, akan ditinggalkan.
Untuk merespons disrupsi ini, ia mendesak agar regulasi di Kementerian dan Dikti segera direvisi, termasuk aturan tentang buku fisik yang sudah harus digantikan oleh e-book sebagai sarana pembelajaran utama.
Kepada pengurus APTISI Bali di bawah kepemimpinan Prof. Made Suarta, Budi Djatmiko berpesan untuk memprioritaskan persatuan dan kemajuan bersama.
“Pesan kepada pengurus APTS Bali yang baru, bagaimana menyatukan teman-teman, memperhatikan teman-teman yang terbelakang agar bisa maju bersama,” tutupnya. Ia berharap APTISI Bali menjadi organisasi yang terus belajar dan mengembangkan anggotanya. (*)