PanenTalks, Badung -Investasi di sektor pariwisata Bali terus menggema, namun di balik janji pertumbuhan ekonomi, muncul suara-suara kekhawatiran dari masyarakat lokal, khususnya di Pantai Bingin.
Pertanyaan mengemuka b agaimana investasi dapat berjalan harmonis tanpa menggusur atau meminggirkan masyarakat lokal yang telah lama bergantung pada aktivitas ekonomi tradisional di wilayah Pantai Bingin Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung Bali.
Nyoman Musadi, tokoh masyarakat Pantai Bingin, menegaskan situasi saat ini adalah titik krusial yang menuntut keseimbangan antara perlindungan lingkungan, pelestarian budaya, dan keadilan ekonomi. Baginya, pembangunan sejati harus memprioritaskan kepentingan masyarakat Bali.
Musadi mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait surat perintah pembongkaran yang diterima oleh 45 bangunan warung tradisional di Pantai Bingin.
Keputusan ini, yang didasari oleh dugaan pelanggaran tata ruang, penggunaan lahan, masalah lingkungan, hingga penyerobotan lahan, berpotensi melenyapkan mata pencarian 45 pemilik warung dan keluarga mereka secara langsung.
“Mereka adalah bagian dari akar komunitas ini. Bahkan, para lansia pun masih menggantungkan hidupnya di Pantai Bingin,” jelas Musadi, menyoroti dampak sosial-ekonomi yang masif dari kebijakan tersebut.
Muncul dugaan penegakan hukum di lapangan cenderung tebang pilih, hanya menyasar usaha lokal, sementara proyek-proyek investasi berskala besar di area serupa justru tak tersentuh.
Ada indikasi pihak tertentu berupaya memperkaya diri dari investasi asing yang berambisi membersihkan lahan untuk pengembangan resor/
Ia membandingkan situasi di Bingin dengan Jimbaran, Balangan, dan resor Uluwatu, yang notabene memiliki zonasi serupa namun tidak menghadapi ancaman pembongkaran mendesak.
“Mengapa baru sekarang Bingin ditelusuri? Padahal, pelanggaran serupa terjadi di banyak tempat lain di Bali,” imbuhnya.
Slogan ‘Bali First’ yang diusung oleh masyarakat Pantai Bingin bukan sekadar semboyan, melainkan manifestasi dari semangat untuk melindungi mereka yang telah bergenerasi membangun “surga” ini.
Warung-warung tradisional di Bingin bukan hanya unit bisnis, melainkan juga bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Bali yang terancam.
Musadi menekankan bahwa keluarga lintas generasi terancam terusir dari tanah leluhur mereka. “Komunitas ini mencakup anak-anak, cucu-cucu, semua butuh makan.
Dampaknya akan meluas ke seluruh jaringan keluarga,” katanya, menggambarkan bagaimana penggusuran akan memutuskan rantai kehidupan dan kesejahteraan.
Studi lingkungan independen yang dilakukan oleh masyarakat Bingin menunjukkan komitmen mereka terhadap pembangunan yang bertanggung jawab. Masyarakat lokal telah lama menjadi penjaga garis pantai ini. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan sejati seharusnya mencakup pengakuan dan perlindungan hak atas tanah adat.
Musadi juga menyoroti keuntungan pariwisata seharusnya dinikmati oleh masyarakat lokal, bukan malah menjadi penyebab penggusuran mereka.
Saat ini, 34 pemilik warung tradisional hidup dalam kecemasan dan ketakutan akan masa depan. Mereka berharap adanya kompromi yang adil untuk menciptakan pembangunan inklusif, bukan penggusuran paksa.
Pertanyaan krusial lain yang dilontarkan Musadi mengenai standar keselarasan arsitektur, mengingat fakta bahwa 80% rumah dan hotel di Bali disinyalir tidak memiliki izin sah. Transparansi mengenai pihak-pihak yang diuntungkan dari pengosongan lahan ini menjadi tuntutan utama masyarakat.
“Sebagai masyarakat lokal yang berasal dari sini, orang tua kami masih menggantungkan hidupnya di Pantai Bingin. Jika usaha kami ditutup atau dibongkar, bagaimana nasib kami?” tanya Musadi.
Kisah-kisah keluarga lintas generasi yang membangun kehidupan di Bingin, dukungan ahli lingkungan terhadap studi independen, pandangan pekerja pariwisata tentang peran bisnis lokal dalam menciptakan pengalaman otentik bagi wisatawan, semuanya menjadi elemen kunci dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi Pantai Bingin.
Investasi harus menjadi jembatan menuju kesejahteraan bersama, bukan jurang pemisah bagi masyarakat.(*)