Sabtu, September 27, 2025

BRIN dan AMTI Bahas Masa Depan Industri Tembakau

Share

PanenTalks, Jakarta-Industri tembakau di Indonesia telah lama menjadi salah satu penopang ekonomi nasional. Dari ladang tembakau dan cengkeh di berbagai daerah hingga pabrik dan pedagang, rantai ekosistem ini menghidupi jutaan orang. Namun, di balik kontribusinya yang besar, industri ini juga kerap dipandang negatif dan menghadapi tantangan kebijakan yang semakin ketat.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menerima audiensi Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Edi Sutopo, di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Selasa (23/9). Pertemuan tersebut membahas dinamika industri tembakau, peran riset dalam pengembangan produk turunan tembakau, serta isu kebijakan standar tar dan nikotin.

Ketua AMTI, Edi Sutopo, menjelaskan bahwa aliansi ini telah berdiri sejak 25 Januari 2009.
“Kami menaungi asosiasi petani cengkeh dan tembakau, asosiasi pabrik, pedagang, hingga periklanan. Tugas kami adalah advokasi menjaga ekosistem tembakau agar tetap sustain,” ucapnya.

Edi mengungkapkan kegelisahannya terhadap pandangan negatif yang sering ditujukan pada industri tembakau.
“Tembakau menyumbang Rp217 triliun dari cukai rokok per tahun, dan melibatkan 6 juta tenaga kerja dari mulai petani, karyawan pabrik, hingga pedagang. Industri ini padat karya dan sangat bergantung pada sumber dalam negeri,” katanya.

Ia juga menyoroti rencana kebijakan penentuan standar kadar nikotin dan tar.
“Kemenkes sering merujuk standar luar negeri yang kadarnya lebih rendah. Padahal konsumen di Indonesia cenderung menyukai kadar yang lebih tinggi. Kalau diturunkan, kualitas dan pasar bisa tergerus. Kami mohon ada riset dari BRIN untuk memberikan solusi,” ujarnya.

Selain itu, Edi berharap BRIN dapat mendorong diversifikasi pemanfaatan tembakau di luar rokok.
“Kandungan dan standar produk sudah ada di SNI dan diatur dalam undang-undang. Kami berharap BRIN bisa masuk lebih jauh untuk mendukung riset dan inovasi produk turunan,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa pengetatan kebijakan tidak selalu menurunkan jumlah perokok.
“Ketika ditekan, perokok tidak berkurang, yang tertekan justru industri rokok legal. Masyarakat pada akhirnya pragmatis, menyesuaikan daya beli dan pendapatan. Jadi perlu kebijakan yang berimbang,” harapnya.

Sementara itu, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menyampaikan bahwa isu tembakau memang sudah lama menjadi perhatian lintas bidang riset.
“Tembakau ini menarik karena di satu sisi besar kontribusinya, tapi di sisi lain selalu ada pro dan kontra. Ada dua aspek penting: pertama, soal standar apa yang dipakai, dan kedua, bagaimana kita melihatnya dalam konteks heritage masyarakat Indonesia. Tidak mungkin kita suruh masyarakat berhenti begitu saja, biarkan berjalan alami,” ujarnya.

Handoko menambahkan, BRIN berusaha mendorong keseimbangan kebijakan, khususnya terkait cukai.
“Apakah dengan cukai yang tinggi kita bisa mengoptimalkan pendapatan dari hulu hingga hilir? Dari sisi riset, BRIN fokus mengembangkan produk turunan tembakau, tidak hanya untuk rokok, tapi juga untuk kosmetik dan obat-obatan. Itu keunggulan petani tembakau Indonesia yang harus kita dorong,” jelasnya.

Terkait isu standar tar dan nikotin, Handoko menegaskan posisi BRIN.
“Kami tidak bisa membuat studi by design. Justru kami ingin melihat apakah standar baru ini benar-benar berdampak lebih baik bagi kesehatan dan industri dalam negeri. Karena itu, kajian harus melibatkan BPOM, Kementerian Kesehatan, Kemenperin, dan Kemenko Perekonomian. Sebaiknya kita mengacu pada standar WHO, tidak perlu terlalu bervariasi per negara,” pungkasnya.

Read more

Local News