PanenTalks, Jakarta – Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti pentingnya penguatan koperasi dan ekosistem susu nasional untuk menekan ketergantungan komoditas itu dari impor.
Peneliti Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan (PR KKEK BRIN) Akhmad Junaidi mengatakan, koperasi susu menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya pencabutan regulasi perlindungan impor, seperti SKP tiga Menteri mewajibkan industri menyerap susu domestik.
“Juga, dampak perjanjian perdagangan bebas dengan negara, seperti Australia dan Amerika Serikat yang menurunkan tarif impor menjadi 0 persen,” kata dia, melansir laman brin.
Dia melanjutkan, produktivitas peternak domestik masih rendah, hanya 12,3 liter per ekor per hari. Capaian ini jauh tertinggal dari negara maju seperti AS dan Selandia.
“Baru yang mencapai lebih dari 30 liter,” ujarnya.
Selain itu, struktur pasar susu di Indonesia cenderung oligopsoni, industri pengolahan menjadi price maker. Sementara itu, peternak dan koperasi hanya menjadi price taker, daya tawar peternak pun sangat lemah.
Ia juga menyoroti ketimpangan kepemilikan sapi perah. Rencana pemerintah mengimpor satu juta sapi dalam lima tahun mendatang berisiko menggeser kepemilikan dari peternak rakyat ke industri besar.
Akhmad menyampaikan, permasalahan di lapangan pun tidak sedikit. Sebanyak 80 peternak peternak menghadapi kekurangan hijauan pakan akibat keterbatasan lahan dan alih fungsi.
“Kualitas pakan rendah dan penyakit seperti PMK serta mastitis masih menjadi ancaman,” kata dia.
Sementara itu, lanjut dia, peternak kecil belum memiliki akses terhadap teknologi seperti unit pendingin atau laboratorium pengujian kualitas susu.
Peneliti PR KKEK BRIN, Budi Wardono mengatakan, produksi susu dalam negeri baru mencukupi 20–21 persen kebutuhan nasional, sisanya masih dari impor.
“Pentingnya penguatan koperasi dan ekosistem susu nasional melalui peningkatan skala usaha peternak (dari 2–5 ekor menjadi 10–15 ekor),” kata dia.
Di samping, peningkatan produktivitas, penguatan kelembagaan ekonomi desa, serta kolaborasi hulu–hilir.
Budi juga menyoroti pentingnya penyesuaian jenis sapi dengan kondisi lokal, peningkatan kualitas SDM, dan ketersediaan infrastruktur seperti cold chain dan fasilitas laboratorium. (*)