PanenTalks, Jakarta – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan membran komposit antibakteri dari bahan limbah kulit bawang modifikasi menggunakan teknologi plasma.
Dosen Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia (Poltek Nuklir) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bidhari Pidhatika mengatakan, kulit bawang sebagai limbah dapur biasa diabaikan ternyata dapat menjadi sumber selulosa berkualitas tinggi untuk pembuatan serat nano selulosa (CNF).
“Hasil penelitian tersebut sebagai upaya melawan infeksi akibat bakteri yang resisten terhadap antibiotik, serta menjadi harapan baru,” kata dia mengutip Brin.go.id.
Dia mengatakan, penggunaan kulit bawang sebagai sumber CNF tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Selain murah dan berlimpah, juga mendukung prinsip keberlanjutan lingkungan.
BRIN menggandeng Flinders University Australia berhasil menciptakan membran komposit dari bahan alami dan limbah pertanian. Meliputi Polyvinyl Alcohol (PVA), Boric Acid (BA) dan CNF dari kulit bawang. Kemudian modifikasi dengan teknik Plasma Polymerization.
“Membran tersebut memiliki tiga keunggulan utama yaitu sifat antibakteri kuat, kestabilan mekanik baik, serta kompatibilitas terhadap sel imun manusia,” kata dia.
Menurut dia, inovasi teknik plasma mencakup pelapisan ganda dengan polimer octadiene dan polyoxazoline berfungsi mengontrol pelepasan zat aktif. Selain itu, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi bakteri.
Bidhari menjelaskan, lapisan plasma polimer tersebut tidak hanya mencegah pelepasan BA secara berlebihan bisa memicu toksisitas, tetapi juga memperkuat struktur membran agar lebih stabil saat diaplikasikan pada luka.
“Membran diuji secara in vitro terhadap dua patogen utama penyebab infeksi luka, yakni Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Hasil uji fluoresensi menunjukkan kemampuan bunuh bakteri sangat efektif, terutama pada variasi komposit dengan 8 phr boric acid dan 2,5 phr CNF,” kata dia.
Selain itu, kata dia, uji sitotoksisitas menggunakan sel imun THP-1 menunjukkan viabilitas sel tetap tinggi, melebihi 80 persen, sesuai standar ISO 10993–5. Dalam pengujian kekuatan tarik, membran memperlihatkan keseimbangan antara elastisitas dan kekuatan mekanik, membuatnya cocok untuk diaplikasikan sebagai lapisan luka atau scaffold jaringan lunak.
“Kami percaya teknologi ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut bahkan dalam bentuk produk medis siap pakai di masa depan,” ujar Bidhari.
Pemanfaatan limbah pertanian seperti kulit bawang juga menjadi sorotan penting dalam pendekatan ramah lingkungan, sejalan dengan tren global green biomaterials.
Proses ekstraksi CNF dari kulit bawang menggunakan kombinasi autoklaf, pemutihan peroksida, dan penyempurnaan hidrolisis asam oksalat untuk menghasilkan nanofiber berkualitas tinggi.
“Studi ini juga menekankan pentingnya kontrol pelepasan BA agar tidak menimbulkan efek toksik pada jaringan. Penggunaan teknik plasma menjadikan permukaan membran lebih terkontrol dalam menyerap dan melepas air, yang sangat penting untuk penyerapan luka dan penyembuhan lebih baik,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, keberhasilan penelitian ini membuka peluang baru dalam pengembangan material biomedis lokal ekonomis, berkelanjutan, dan efektif melawan infeksi di era krisis resistensi antibiotik.
Penelitian tersebut juga menjadikan BRIN sebagai pionir dalam pemanfaatan biomaterial ramah lingkungan untuk aplikasi medis serta menjawab tantangan global resistensi antibiotik.
“Penelitian ini telah dipublikasikan pada Maret 2025 di jurnal Nano-Structures & Nano-Objects,” kata dia.
Menurut dia, penggabungan sains material, teknologi plasma, dan prinsip keberlanjutan, membran komposit berbahan dasar limbah bawang. Hal ini berpotensi menjadi solusi revolusioner dalam dunia medis.
Langkah selanjutnya adalah uji praklinis dan pengembangan produk. BRIN terbuka untuk kolaborasi lintas industri dan institusi. (*)