PanenTalks, Yogyakarta – Penyakit malaria dan demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi tantangan serius bagi kawasan tropis seperti Indonesia dan Malaysia. Perubahan lanskap akibat deforestasi serta konversi hutan membuka habitat baru bagi nyamuk vektor, yang menyebabkan peningkatan signifikan kasus infeksi, khususnya di wilayah pinggiran hutan. Menyadari urgensi ini, kolaborasi ilmiah antarnegara menjadi langkah penting dalam menanggulangi penyebaran penyakit.
Dalam upaya memperkuat strategi pengendalian dua penyakit menular ini, Pusat Kedokteran Tropis (PKT) FK-KMK UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) dan Tropical Infectious Diseases Research & Education Centre (TIDREC), Universiti Malaya, menggelar webinar internasional bertajuk “Combating Malaria and Dengue: Innovations and Strategies”, Rabu, 17 September 2025, secara daring.
Webinar ini menjadi wadah pertukaran pengetahuan dan pengalaman antar peneliti dari dua negara. Wakil Dekan FK-KMK UGM, Prof. Dr. dr. Lina Choridah, Sp.Rad(K)., menyambut baik inisiatif kolaboratif ini sebagai langkah positif dalam memperkuat pengendalian penyakit.
“Saya kira ini ini dapat menjadi wadah untuk memaparkan strategi dan teknologi baru dalam mengendalikan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. dr. Ajib Diptyanusa, perwakilan WHO Indonesia, menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga jenis nyamuk yang sangat membahayakan kesehatan manusia, termasuk vektor pembawa VBDs, malaria, dan dengue. Kawasan tropis dan subtropis menjadi wilayah paling rentan.
“Asia Tenggara merupakan tempat dengan transmisi malaria terbesar dan Indonesia menempati urutan ke-32 di dunia dengan kasus malaria terbanyak,” katanya.
Namun, seiring waktu, dengue kini telah menjadi ancaman global, tak lagi terbatas pada wilayah tropis. Ajib menambahkan:
“Penyebarannya akibat maraknya aids vector dan perubahan iklim,” ungkapnya.
Pencegahan Malaria Lebih Efektif daripada Pengobatan
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, Sp.A., Ph.D., menggarisbawahi bahwa malaria merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, namun masih bisa dicegah melalui berbagai intervensi.
“Tujuan dari pengendalian dan pencegahan malaria adalah mencegah untuk sampai terinfeksi, namun bagi yang sudah terinfeksi untuk segera mendapatkan treatment yang tepat,” jelasnya.
Ia turut menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mencapai target eliminasi malaria pada 2030. Salah satunya adalah stagnasi angka kejadian malaria selama satu dekade terakhir, serta adanya malaria zoonotik yang ditularkan dari primata non-manusia.
Teknologi Wolbachia dan Bioinsektisida Jadi Harapan Baru
Webinar ini juga membahas implementasi teknologi Wolbachia di Yogyakarta, yang dinilai berhasil menekan penularan virus dengue secara signifikan. Program ini bahkan telah diperluas ke lima kota lain sejak 2023 oleh Kementerian Kesehatan RI, menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam menanggulangi DBD.
Selain itu, peserta juga diperkenalkan pada potensi Streptomyces sebagai bioinsektisida alami yang tengah dikembangkan oleh peneliti dari Universiti Malaya, serta temuan menarik terkait kemungkinan penularan dengue pada malam hari yang dilaporkan oleh perwakilan dari Kementerian Kesehatan RI.
Melalui kolaborasi ilmiah seperti ini, Indonesia dan Malaysia menunjukkan komitmen bersama dalam menanggulangi penyakit menular berbasis vektor. Pertukaran strategi, data, dan teknologi inovatif diyakini menjadi kunci dalam mempercepat capaian eliminasi malaria dan mengendalikan dengue di kawasan. (*)