PanenTalks, Jakarta – Bagi sebagian orang, cacing tanah mungkin tampak menjijikkan, bahkan menjadi salah satu hewan yang paling dihindari. Namun, tidak bagi Lilis Suhartini, seorang ibu rumah tangga asal Desa Margamekar, Pangalengan, Jawa Barat.
Di balik pandangan umum yang menganggapnya tidak menarik, Lilis melihat potensi besar dalam budidaya cacing tanah, yang kini telah menjadi usaha menguntungkan dengan omset mencapai Rp100 juta setiap bulannya.
Lilis memulai setiap harinya dengan memanen cacing-cacing yang dikembangbiakkan di pekarangan rumahnya. Meskipun lahan yang digunakan terbatas, usahanya tidak hanya memberikan keuntungan finansial, tetapi juga telah memberinya rumah dan kendaraan pribadi.
“Usaha ini menjanjikan. Saya punya rumah sama kendaraan juga hasil dari sini,” kata Lilis.
Desa Margamekar, tempat Lilis tinggal, dikelilingi bukit dan pegunungan yang memiliki udara sejuk dan tanah subur. Kondisi alam ini mendukung berbagai usaha pertanian dan peternakan, termasuk budidaya cacing yang dijalankan oleh Lilis.
Keberadaan cacing tanah di lahan tersebut turut berperan penting dalam menjaga ekosistem. Cacing membantu menyuburkan tanah, sementara limbah organik dari peternakan cacing dapat dimanfaatkan sebagai pupuk alami. Sebuah siklus yang mendukung pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Bersama suaminya, Hendi Rustandi, Lilis menjalankan usaha ternak cacing ini dengan tekun. Mereka dibantu oleh dua karyawan yang bertanggung jawab mengurus cacing dari pembibitan hingga proses panen. Pengendalian mutu dilakukan dengan sangat ketat, karena kualitas cacing sangat menentukan harga jual dan kepercayaan pelanggan.
Lilis tidak memulai usaha budidaya cacing tanah dengan cara yang mudah. Pada awalnya, ia hanya menjual cacing hidup kepada kenalannya yang bekerja di sebuah pabrik farmasi. Namun, keinginan untuk mengembangkan usaha membawanya mengikuti penyuluhan tentang budidaya cacing. Setelah mengikuti program penyuluhan selama sebulan, Lilis berhasil mengembangkan produk baru: cacing kering dan bubuk cacing.
“Pertamanya saya cuma kirim cacing hidup. Terus kenalan saya nanyain, ‘Ibu bisa nggak buat yang kering?’ Saya jawab, ‘nggak bisa’. Akhirnya, saya ditawari ikut penyuluhan. Setelah ikut penyuluhan, saya coba dan hasilnya bagus. Dari situ, saya buat produk cacing kering dan bubuk,” kata Lilis menceritakan perjalanan usahanya.
Setiap pagi, Lilis dan timnya memanen cacing dengan hati-hati. Setelah dipanen, cacing-cacing tersebut dipisahkan dari tanah dengan cara manual, kemudian dicuci dengan air mengalir berulang kali. Cacing yang sudah bersih kemudian direbus hingga matang dan siap untuk dikeringkan. Kunci untuk mendapatkan produk cacing berkualitas terletak pada kesegaran cacing sebelum diproses.
Tantangan dan Solusi Finansial
Dalam mengembangkan usahanya, Lilis menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal peralatan produksi. Selama bertahun-tahun, ia harus mengandalkan oven berukuran sedang untuk mengeringkan cacing, yang membuat proses produksi memakan waktu lama dan mempengaruhi kualitas produk.
Pada tahun 2023, Lilis diajak oleh tetangganya untuk bergabung dengan Amartha, sebuah perusahaan teknologi keuangan yang fokus menyalurkan akses permodalan kepada UMKM di Indonesia. Modal senilai Rp4 juta yang didapatkan tanpa potongan itu dimanfaatkan untuk membeli oven berkapasitas besar. Dengan begitu, kuantitas produksi Lilis meningkat. Dia juga merekrut dua karyawan tambahan guna memenuhi permintaan pelanggannya. Sekarang ia memiliki empat karyawan.
Begitu cacing kering sempurna, kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran. Cacing berukuran kecil atau jenis Lumbricus rubellus dikirim ke pabrik farmasi. Per kilogram dihargai Rp200.000. Sayangnya setelah pengiriman, Lilis tidak bisa langsung mendapatkan pembayaran. Ia perlu menunggu satu hingga dua minggu karena pabrik perlu memeriksa kualitas cacing yang dikirimkan. Setelah dua minggu dan semua cacing dinyatakan layak, pembayaran baru bisa dilakukan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri baginya.
Sementara cacing berukuran besar atau jenis Perionyx excavates diolah menjadi bubuk cacing. Sebagian bubuk cacing dikirim ke produsen jamu di Jawa Tengah dan sebagian lainnya dijual di e-commerce. Satu kilogram bubuk cacing dihargai Rp250.000.
“Sekarang produksi saya jadi lebih banyak. Dulu, cacing yang saya kirim ke pabrik farmasi sering telat, sekarang tidak lagi. Cacing yang besar diolah jadi bubuk dan dijual di e-commerce, sementara yang kecil dikirim ke pabrik farmasi,” ungkap Lilis.
Dengan dukungan modal dan pendampingan bisnis dari Amartha, Lilis pun memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan usaha. Salah satu langkah besar yang dilakukannya adalah memasarkan bubuk cacing melalui platform e-commerce. Tak hanya menjangkau pasar lokal, produk cacing milik Lilis bahkan sudah dikirim ke berbagai daerah, dari Jawa Tengah hingga Flores.
“Ibu juga jualan di online buat yang bubuk cacing. Kalau online yang beli dari mana-mana. Pernah kirim ke Jawa Tengah, ke Flores juga pernah. Ada yang pesan sekilo pun tetap saya layanin,” ungkap Lilis, dengan senyum bangga.
Tahun 2025 ini menandai tahun ketiga Lilis menjadi pengusaha UMKM binaan Amartha. Meski telah meraih banyak pencapaian, Lilis tidak ingin berhenti di sini. Ia bercita-cita memperdalam pengetahuan di bidang teknologi digital agar usahanya semakin berkembang dan mampu memberdayakan lebih banyak masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
“Saya ingin terus belajar tentang teknologi digital. Agar usaha saya semakin berkembang dan bisa membantu lebih banyak orang di sekitar sini,” tambahnya.
Melalui ketekunan, inovasi, dan pemanfaatan teknologi, Lilis Suhartini telah membuktikan bahwa bisnis yang dimulai dari hal yang sederhana—seperti budidaya cacing—bisa menjadi peluang yang menguntungkan dan berkelanjutan. Sebuah contoh nyata bahwa kreativitas dan keberanian mengambil peluang bisa mengubah hidup, bahkan dari hal yang sering dianggap remeh sekalipun.