Kamis, Oktober 23, 2025

Defisit APBN Capai Rp371,5 Triliun, Akademisi UGM: Masih Aman, Tapi Butuh Efisiensi Belanja

Share

PanenTalks, Sleman – Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 30 September 2025 tercatat sebesar Rp371,5 triliun, atau setara 1,56 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun angka tersebut menunjukkan tekanan fiskal, pemerintah masih berhasil menjaga keseimbangan primer tetap positif, meski belum mencapai target outlook 2025 sebesar 2,78 persen.

Dalam konteks ini, pengamat kebijakan fiskal dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rijadh Djatu Winardi memberikan pandangannya bahwa kondisi fiskal Indonesia masih dalam batas aman.

“Defisit sebesar 1,56 persen terhadap PDB masih aman karena keseimbangan primer tetap positif dan rasio utang terhadap PDB berada di kisaran 39–40 persen. Artinya, ruang kebijakan fiskal kita masih cukup luas,” kata Rijadh, Rabu, 22 Oktober 2025.

Menurutnya, tekanan yang muncul terhadap APBN saat ini lebih disebabkan oleh faktor siklikal, bukan permasalahan struktural.

Penurunan harga komoditas global seperti batubara dan sawit telah berdampak pada penerimaan pajak serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, kontribusi dari sektor manufaktur dan jasa masih cukup kuat dalam menopang stabilitas fiskal nasional.

Meski begitu, Rijadh menyoroti tantangan klasik dalam struktur penerimaan negara: rasio pajak yang masih rendah.

“Basis penerimaan fiskal kita masih sempit sehingga rentan terhadap fluktuasi harga komoditas,” ujarnya.

Rasio pajak Indonesia yang hanya sekitar 10 persen dari PDB masih jauh tertinggal dari rata-rata global yang berkisar di angka 20 persen.

Di sisi pengeluaran, serapan anggaran pemerintah hingga triwulan ketiga baru mencapai 62,8 persen dari outlook. Sejumlah kementerian dan lembaga strategis bahkan mencatat realisasi di bawah 50 persen, seperti Badan Gizi Nasional (16,9 persen), Kementerian PUPR (48,2 persen), dan Kementerian Pertanian (32,8 persen).

“Masalah ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga struktural. Kesiapan anggaran sejak awal tahun yang belum optimal, kecenderungan menunda belanja (fiscal inertia), serta rendahnya efisiensi alokasi (allocative efficiency) menjadi penyebab utama rendahnya serapan anggaran,” ujar Rijadh.

Ia menekankan pentingnya akselerasi realisasi belanja untuk menjaga peran APBN sebagai instrumen stabilisasi ekonomi. Pemerintah didorong untuk memperbaiki proses pengadaan sejak awal tahun serta memastikan kelancaran mekanisme pembayaran agar belanja tidak menumpuk di akhir tahun.

Dengan sisa waktu kurang dari tiga bulan menuju akhir tahun anggaran, Rijadh mengingatkan bahwa pemerintah masih harus merealisasikan belanja sekitar Rp527 triliun.

“Fokusnya bukan sekadar menghabiskan anggaran, tetapi memastikan setiap rupiah digunakan secara efektif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” kata dia memungkasi. (*)

Read more

Local News