PanenTalks, Yogyakarta – Pemerintah tengah menggagas transformasi sistem bantuan sosial (bansos) melalui pendekatan digital. Program ini akan diuji coba di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dengan harapan bisa menghemat anggaran hingga Rp14 triliun per tahun sekaligus memperbaiki transparansi serta akurasi penyaluran bantuan.
Meskipun program ini dinilai menjanjikan, sejumlah pihak menyoroti aspek kesiapan dan tantangan di lapangan. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho mengapresiasi langkah ini sebagai bagian dari penguatan sistem perlindungan sosial nasional.
Menurutnya, pendekatan digital dapat memangkas biaya birokrasi, mempercepat distribusi bantuan, dan mengurangi potensi penyelewengan.
“Digitalisasi akan menekan biaya administrasi, memastikan bantuan tersalurkan dengan jumlah yang tepat, lebih cepat, dan lebih transparan,” ujar Wisnu, Kamis, 4 Agustus 2025.
Wisnu menambahkan, inisiatif ini bukan hal yang sepenuhnya baru. Sebelumnya, pemerintah sudah menjalankan beberapa skema seperti Kartu Perlindungan Sosial (KPS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), hingga program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT).
Menurutnya, program digitalisasi 2025 diharapkan mampu menyempurnakan kekurangan yang masih ada dalam kebijakan-kebijakan sebelumnya.
Terkait pemilihan Banyuwangi sebagai daerah percontohan, Wisnu menilai langkah itu cukup tepat dari sisi kesiapan teknologi. Namun, ia mengingatkan agar hasil uji coba tidak dianggap sebagai tolok ukur kesiapan nasional secara menyeluruh.
“Banyuwangi relatif memiliki infrastruktur digital yang lebih baik dibandingkan daerah 3T seperti NTT, Papua, atau Kalimantan pedalaman. Maka keberhasilan di Banyuwangi belum otomatis mencerminkan kesiapan Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya mengantisipasi sejumlah kendala yang mungkin timbul dalam implementasi digitalisasi bansos, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan.
Mulai dari infrastruktur digital yang belum merata, rendahnya literasi digital pada kelompok miskin, hingga masalah akurasi data penerima bantuan sosial. Ia juga menyoroti potensi eksklusi akibat sistem otentikasi berbasis biometrik yang bisa menyulitkan sebagian penerima.
“Tantangan ini harus diantisipasi agar digitalisasi bansos tidak justru menyulitkan masyarakat miskin yang seharusnya menerima bantuan,” kata dia lagi.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Wisnu menyarankan adanya pendekatan menyeluruh yang mencakup empat hal utama. Pertama, pemerataan akses internet hingga ke wilayah dengan konektivitas rendah. Selain itu, pemberdayaan agen lokal dan pelatihan literasi digital bagi warga.
Selanjutnya, perbaikan dan integrasi data antar-lembaga untuk memastikan ketepatan sasaran. Dan terakhir, transparansi proses melalui platform digital yang terbuka bagi masyarakat.
“Bansos digital hanya akan efektif bila ditopang data yang mutakhir, infrastruktur yang memadai, serta pendampingan langsung bagi masyarakat,” jelasnya.
Lebih dari sekadar efisiensi anggaran, Wisnu menekankan bahwa digitalisasi bansos seharusnya menjadi pijakan untuk memperluas akses ke layanan keuangan formal bagi masyarakat kurang mampu.
Jika dirancang dan dieksekusi dengan baik, sistem ini berpotensi mengurangi kebocoran anggaran, mempercepat pencairan bantuan, dan meningkatkan pengalaman penerima bansos.
“Bahkan bisa menjadi pintu masuk bagi masyarakat miskin ke layanan keuangan formal. Dengan begitu, bansos digital bukan hanya instrumen jangka pendek, tetapi juga sarana menuju kesejahteraan jangka panjang,” pungkasnya. (*)