Kamis, Juni 19, 2025

Diversifikasi Pangan Lokal Jadi Pilar Strategi Ketahanan Pangan Nasional

Share

PanenTalks, Jakarta – Kepala Badan Pangan Nasional (NFA), Arief Prasetyo Adi, menegaskan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal merupakan pilar krusial dalam strategi pemenuhan kebutuhan pangan nasional.

Penegasan ini disampaikan sejalan dengan upaya pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan yang berkelanjutan, dengan mengandalkan potensi pangan daerah dan kearifan lokal.

Arief menekankan pentingnya optimalisasi pemanfaatan beragam pangan lokal yang kaya di Indonesia. Dengan 77 jenis pangan sumber karbohidrat yang tersebar di berbagai wilayah, Arief menyayangkan pemanfaatannya yang belum maksimal.

“Dalam pemenuhan pangan, strategi yang ditempuh meliputi optimalisasi dan ekstensifikasi lahan, serta diversifikasi pangan,” ujar Arief dalam keterangannya pada Kamis 17 April lalu.

Ia menambahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal menjadi landasan hukum upaya ini.

“Jika kita mampu memaksimalkan produksi dalam negeri dari setiap wilayah, maka seluruh elemen bangsa akan terlibat,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Arief menyoroti urgensi untuk menghidupkan kembali kearifan pangan lokal yang merupakan warisan leluhur. Hal ini tidak hanya terbatas pada keanekaragaman sumber karbohidrat, tetapi juga pada cara masyarakat lokal mengombinasikan sumber pangan dengan protein dari lingkungan sekitar.

“Dalam satu piring makan, sepertiga bagian karbohidrat tidak harus nasi. Bisa diganti singkong, kentang, sorgum, sagu, atau jagung,” jelas Arief.

Ia mencontohkan kebiasaan sarapan masyarakat di berbagai daerah yang masih mengandalkan singkong, ubi jalar, atau ubi rambat sebagai sumber karbohidrat, bahkan dikombinasikan dengan sumber protein seperti kacang rebus atau ikan air tawar dari pekarangan.

Namun, Kepala NFA juga menyoroti tantangan dalam meningkatkan kualitas konsumsi pangan lokal saat ini. Data menunjukkan konsumsi singkong baru mencapai 9,5 kg per kapita per tahun, ubi jalar 3 kg per kapita, jauh tertinggal dibandingkan konsumsi beras yang mencapai 84 kg per kapita per tahun.

Kondisi ini mengindikasikan perlunya upaya edukasi dan penyediaan alternatif pangan berbasis sumber daya lokal untuk mengimbangi dominasi konsumsi nasi.

“Di Papua ada sagu, di Sulawesi Selatan ada beras jagung, bahkan masyarakat Wonosobo mengonsumsi belut sebagai sumber protein. Ini adalah potensi luar biasa yang perlu kita gali kembali,” tegas Arief, seraya menekankan kandungan protein tinggi pada ikan dan belut yang dapat mendukung kecerdasan.

Senada dengan Kepala NFA, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan NFA, Andriko Noto Susanto, menekankan perlunya kolaborasi untuk mengurangi ketergantungan pada beras.

“Kita perlu mendorong peningkatan konsumsi pangan lokal. Saat ini, konsumsi singkong dan ubi jalar masih sangat rendah dibandingkan beras. Padahal, diversifikasi pangan adalah solusi untuk mewujudkan sistem pangan nasional yang lebih beragam, sehat, dan berkelanjutan,” ujar Andriko.

“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghidupkan kembali semangat konsumsi pangan lokal sebagai wujud nyata kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal,” pungkas Andriko. (*)

Read more

Local News