Jumat, Oktober 3, 2025

Dosen Komunikasi UGM Menilai RUU Penyiaran Multitafsir

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahayu menilai beberapa poin dalam RUU Penyiaran perlu dikaji ulang.

“Saya lihat ada indikasi KPI ini akan jadi lembaga superpower, semuanya diatur,” tutur Rahayu, Selasa 6 Mei 2025.

Dia menyebutkan, RUU Penyiaran Pasal 50B tentang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi tidak menjelaskan makna “eksklusif” dimaksud sehingga dapat berpotensi multitafsir.

Dalam hal ini, ada irisan dengan wewenang jurnalistik karena pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pers Pasal 4 Ayat 2 menyebutkan pers nasional tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. 

Selanjutnya, kata dia, definisi RUU Penyiaran terhadap konten siaran. Pada Pasal 7 Ayat 1 dan Pasal 8A Ayat 1 disebutkan bahwa KPI berfungsi menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan terhadap isi siaran dan konten siaran. Sedangkan konten siaran yang dimaksud merujuk pada materi siaran digital yang diproduksi oleh platform digital sebagai pelaku usaha, baik perorangan atau lembaga.

“Seharusnya perseorangan dengan lembaga tidak disamakan. Lembaga bisa berbadan hukum, perseorangan kan tidak,” ujar Rahayu. 

Menurut dia, RUU Penyiaran tersebut tidak ada penjelasan mengenai bentuk pengawasan dilaksanakan oleh KPI. Mengingat konten-konten digital saat ini bertumbuh cepat dan masif setiap hari dan terkait konten sudah diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perusahaan platform digital. 

Ada usulan menarik dalam Draft RUU Penyiaran, salah satunya Pasal 7 Ayat 3 menyebut kewenangan KPI untuk membentuk KPI daerah. Satu sisi, pasal ini dapat mendorong penayangan konten-konten budaya daerah dan memperkuat media lokal.

Namun demikian, pasal tersebut tidak menjelaskan mekanisme operasional mulai dari pembentukan KPI Daerah hingga pengelolaan finansial hingga dikhawatirkan membebani anggaran di tingkat daerah.

Rahayu menegaskan, RUU Penyiaran masih masih memerlukan pertimbangan terhadap sejumlah pasal tidak efisien karena tumpang tindih dengan kebijakan lain. Selain itu, regulasi selama ini masih melihat garis besar industri media nasional saja, belum berupaya menggandeng media siaran lokal.

“Padahal sejak beralih ke digital, banyak TV lokal yang sulit bertahan, bahkan tumbang. Penting bagi pemerintah untuk melindungi industri penyiaran, bukan hanya memberlakukan pelarangan atau pembatasan,” kata dia. (*)

Editor : Hendrati Hapsari

Read more

Local News