PanenTalks, Yogyakarta – Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan, isu PHK telah menjadi ‘ancaman superproduktif’ merambah lintas sektor.
“Tidak hanya industri padat karya seperti garmen dan tekstil yang sebelumnya dominan terdampak. Kini gelombang PHK juga menyentuh industri teknologi dan media,” ungkap dia, Rabu 28 Mei 2025.
Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si mengungkapkan, beberapa perusahaan besar hingga media sudah melakukan efisiensi tenaga kerja.
Dia menyebut Survei Asosiasi Pedagang Indonesia terdapat beberapa faktor utama penyebab PHK. Antara lain penurunan daya beli masyarakat, efisiensi anggaran perusahaan, kenaikan biaya produksi dan otomatisasi. Selain itu, adopsi teknologi serta ketergantungan pada pasar ekspor.
“Kondisi ini tentunya membawa dampak signifikan pada struktur sosial ekonomi masyarakat,” kata dia.
Selain itu, potensi menurunnya kelas menengah. Ketika kelas menengah turun, daya beli melemah, angka kemiskinan pun berisiko naik.
Hempri memberikan, rekomendasi sejumlah langkah untuk mengatasi adanya PHK. Pertama, adanya revisi Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2024, perlu ada regulasi membatasi masuknya produk asing secara masif dan tidak terkontrol.
Kemudian mendorong ekosistem pengembangan usaha kondusif, membuat kebijakan-kebijakan untuk mengatasi korban PHK. Di samping itu, pengadaan hilirisasi inovasi, bantuan sosial, serta stimulus untuk kelas menengah meliputi akses modal. Meliputi teknologi, pemasaran, dan pelatihan berbasis kebutuhan pasar yang nyata.
Menurutnya, fleksibilitas dalam rekrutmen juga menjadi sangat penting, terutama dalam situasi ekonomi tidak menentu. Seperti meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor ini.
Oleh sebab itu, Hempri juga sepakat dan menyetujui rencana Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menghapus batasan usia sebagai syarat dalam lowongan pekerjaan.
“Fleksibilitas ini penting karena banyak orang kehilangan pekerjaan,” kata dia.
Pemerintah, kata dia, harus mendorong penciptaan lapangan kerja. Selain, memberi akses lebih luas kepada masyarakat dari berbagai kelompok usia untuk bekerja secara layak.
Namun, Hempri juga menekankan perubahan regulasi ketenagakerjaan harus tetap berpijak pada prinsip hak asasi manusia, terutama dalam konteks perlindungan terhadap anak.
“Jangan sampai kita membuka akses kerja tetapi justru mengorbankan hak tumbuh kembang anak. Usia anak itu adalah masa membangun karakter dan inovasi, bukan untuk bekerja. Jadi meski aturannya dihapus, tetap batasan usia itu diperhatikan,” pungkasnya. (*)
Editor : Hendrati Hapsari