PanenTalks, Yogyakarta – Guru Besar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., menilai negosiasi dagang mempertimbangkan kebutuhan nikel Amerika Serikat.
Mailinda menuturkan, Amerika Serikat sedang mencabut bea masuk global atas sejumlah mineral penting tertentu. Material tersebut sangat penting bagi ekonomi AS, mulai dari ponsel pintar hingga rudal berpemandu.
“Pada dasarnya hal ini memperkuat akses Amerika terhadap sumber daya tersebut dan membuat ketersediaan globalnya menjadi semakin strategis,” katanya dalam keterangan rilis, Kamis 22 Mei 2025.
Mailinda menyebutkan, negara-negara kaya akan mineral tersebut kini menemukan posisi tawar semakin kuat dengan Amerika Serikat.
Ia mencontohkan, Tiongkok memproduksi sekitar 90 persen logam tanah jdan merupakan pemasok utama bagi AS. China segera merespons dengan menghentikan ekspor berbagai jenis mineral penting.
Menurutnya, Indonesia memiliki 34 persen cadangan nikel dunia telah memberi sinyal kemungkinan menggunakan mineral penting sebagai alat tawar dalam menghadapi tarif tersebut.
“Kekuatan dari tawar ini bukanlah sekadar teori. Baik pembatasan dari Tiongkok maupun Indonesia disebut sebagai hambatan non-tarif dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers terbaru dari United States Trade Representative,” paparnya.
Namun begitu, imbuhnya pemerintah saat ini menghadapi dilema. Satu sisi memanfaatkan keunggulan jangka pendek atau tetap fokus pada ambisi industrialisasi jangka panjang.
Dengan menggunakan ekspor mineral sebagai alat tawar berisiko memperpanjang negosiasi dagang dengan AS. Berbeda dengan Tiongkok, merupakan kekuatan ekonomi besar dan mampu mengalihkan ekspor ke pasar lain. Indonesia tidak memiliki fleksibilitas serupa.
“Sebagai negara berkembang, Indonesia mungkin tidak sanggup menanggung dampak finansial dari tarif berkepanjangan,” ujarnya.
Mailinda berpendapat, sejauh ini Indonesia mengambil langkah lebih kooperatif. Pemerintah sudah menjanjikan sejumlah konsesi untuk memenuhi tuntutan AS.
Ini termasuk menurunkan kuota impor dan melonggarkan aturan kandungan lokal untuk produk elektronik asal AS. “Saya kira ini langkah-langkah yang jelas bertujuan mengakhiri konflik dagang dengan cepat,” terangnya.
Salah satu kemungkinan adalah menghidupkan kembali Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) dengan AS.
AS kemungkinan besar akan menuntut akses lebih besar ke mineral penting Indonesia sebagai bagian dari perjanjian baru.
“Tanda-tanda hal ini sudah terlihat dalam pembicaraan perdagangan terbaru, di mana Indonesia menunjukkan kesediaan untuk memperdalam kerja sama dalam rantai pasokan mineral penting meskipun cakupan dan mekanismenya masih belum jelas,” katanya.
Hal ini menjadi krusial adalah kerangka hukum Indonesia saat ini masih memberlakukan larangan ketat terhadap ekspor bijih mineral mentah. Oleh karena itu, setiap kesepakatan secara signifikan memperluas akses pasar AS ke sumber daya ini kemungkinan memerlukan reformasi legislatif dan regulasi besar.
“Jika AS menekan untuk liberalisasi pasar secara luas di sektor ini, Indonesia perlu melakukan perubahan struktural kebijakan yang lebih dari sekadar komitmen diplomatik,” tandasnya.
Kendati begitu, dunia usaha membutuhkan aturan dagang stabil. Jika ketidakpastian dari kebijakan AS terus berlanjut, katanya, banyak negara bisa memilih untuk mempererat perdagangan dalam wilayah masing-masing.
“Jika tren ini berlanjut, dunia bisa bergerak semakin jauh dari kerja sama global dan menuju sistem di mana hanya kelompok-kelompok negara tertentu bekerja sama,” katanya. (*)
Editor : Hendrati Hapsari