Sabtu, September 27, 2025

DPRD DIY Kritik Program MBG yang Dinilai Tergesa, Usai Ratusan Siswa Alami Keracunan

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan di berbagai sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menjadi sorotan, menyusul maraknya kasus keracunan makanan yang menimpa para pelajar. Komisi D DPRD DIY menilai pelaksanaan program ini terlalu terburu-buru dan tidak diawali dengan perencanaan yang matang.

Sejak program ini diluncurkan, tercatat hampir seribu pelajar di wilayah DIY mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG.

Dua kasus besar tercatat terjadi di Kulon Progo dan Sleman. Di Kulon Progo, sebanyak 497 siswa terdampak pada akhir Juli 2025, sementara di Sleman tercatat 379 siswa mengalami hal serupa pada Agustus 2025. Sejumlah siswa bahkan harus mendapatkan perawatan medis lebih lanjut.

Ketua Komisi D DPRD DIY, Rb Dwi Wahyu, menyampaikan bahwa permasalahan program ini sudah terjadi sejak tahap perencanaan. Ia menilai program ini dijalankan tanpa kajian menyeluruh yang seharusnya mendasari kebijakan pemerintah.

“Dari hulunya sudah salah. Ini kesalahannya, kebijakan (program MBG -red) yang terlalu cepat harus dilaksanakan tetapi tidak melalui kajian,” ujarnya, Jumat (26/9/2025).

Menurut Dwi, distribusi makanan yang kurang terkontrol dan pelaksanaan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan gizi di tiap sekolah menjadi penyebab utama munculnya permasalahan ini.

“Harus ada kajian, riset, sekolah-sekolah mana yang sebenarnya membutuhkan MBG. Ini belum dilalui,” katanya.

Ia menambahkan, waktu antara proses memasak hingga makanan dikonsumsi terlalu panjang, sehingga berpotensi menyebabkan makanan basi dan berujung pada keracunan. Dwi bahkan mengutip pernyataan Gubernur DIY yang turut menyoroti hal tersebut.

“Bagaimana cara mengevaluasi ini semua? Karena temuan-temuannya (kasus keracunan itu terjadi), salah satunya karena jeda waktu. Ngarso Dalem juga mendiko begitu. Jeda waktu itu karena jam 2 pagi mungkin sudah masak dan jam 11.30 baru disajikan pasti ada yang basi dan kontrolnya walaupun sudah melibatkan ahli gizi menurut saya belum optimal,” ujarnya.

Dwi pun mengusulkan agar pelaksanaan program MBG dialihkan kepada pihak sekolah dengan pengawasan langsung dari Dinas Pendidikan, sesuai jenjang pendidikan masing-masing.

“Menurut saya solusi yang efektif adalah MBG tetap jalan tetapi serahkan kepada sekolah yang dikomandani oleh Dinas Pendidikan sesuai dengan tingkatannya. Kalau SD, SMP punyanya kabupaten/kota, kalau SMK, SMA, SLB punya DIY,” tambahnya.

Ia juga menyoroti belum meratanya pembangunan dapur MBG, serta tidak adanya pemetaan wilayah prioritas penerima manfaat.

“Dipetakan (sasarannya. Kalau di DIY) wilayah seperti Gunungkidul dan Kulon Progo memiliki tingkat kebutuhan lebih tinggi dibanding daerah lain, dan seharusnya menjadi prioritas program,” ujarnya.

Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, turut memberikan pandangannya terkait kasus ini. Ia menyebut proses memasak yang dilakukan terlalu dini menjadi penyebab utama makanan cepat rusak.

“Mungkin masaknya jam setengah dua pagi. Kalau sayur (dimasak) jam setengah dua pagi, baru dimakan jam delapan atau jam 10 ya mesti layu (berpotensi basi -red),” ujar Sultan pada Jumat (19/9/2025).

Ia menambahkan, lonjakan permintaan dari program MBG memaksa pihak katering bekerja lebih awal tanpa penambahan tenaga kerja yang memadai. Hal ini justru memperburuk kualitas makanan yang disajikan kepada siswa.

“Gimana menghindari seperti itu, tukang masaknya aja diperbanyak. Jadi tidak masak jam dua atau jam tiga pagi, lalu dimakan di jam delapan atau jam 10 ya mesti keracunan,” jelas Sultan.

Program MBG yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan gizi pelajar, kini justru menuai kritik karena menimbulkan dampak sebaliknya. Evaluasi dan perbaikan menyeluruh menjadi tuntutan berbagai pihak agar program ini tetap bisa berjalan tanpa mengorbankan kesehatan siswa. (*)

Read more

Local News