PanenTalks, Yogyakarta – Perusakan sejumlah makam umat Nasrani di Yogyakarta dan Bantul menimbulkan kekhawatiran publik terjadi konflik berlatar SARA.
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto menegaskan, pentingnya memperkuat edukasi nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat.
Menurutnya, kejadian ini mencerminkan ntoleransi masih menjadi tantangan serius di Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Ini alarm bagi kita semua. Peristiwa ini tidak bisa dipandang sebagai insiden biasa. Bisa jadi ini indikasi awal dari ancaman ideologi ekstrem seperti separatisme atau bahkan terorisme,” kata dia.
Oleh sebab itu, pembelajaran Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus masif.
Eko mengingatkan, pentingnya mencegah politisasi atau provokasi berbasis isu agama. Ia menegaskan, peristiwa perusakan makam di Baluwarti Kembang Basen, Kotagede dan di Bantul, tidak boleh mengarah menjadi konflik antarumat beragama.
“Komisi A mengecam keras aksi tersebut. Kami mendukung proses hukum, namun tetap harus ada pendekatan rehabilitatif. Jangan sampai pelaku malah kehilangan arah hidupnya di usia muda,” tambah Eko.
Dalam konteks yang lebih luas, ia menyoroti pentingnya pendekatan edukatif dan kultural. Ia mendorong pembangunan museum kebangsaan dan museum keistimewaan Yogyakarta cepat selesai. Hal ini sebagai sarana pembelajaran sejarah dan nasionalisme bagi generasi muda.
Eko menekankan, peran keluarga sebagai garda terdepan pencegahan penyimpangan perilaku. Ia menyinggung keberadaan Perda Ketahanan Keluarga dan peran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DIY sebagai penguat fungsi keluarga dalam pendidikan karakter.
“Kalau penyampaian sinau (belajar) Pancasila di ruang formal, hasilnya tidak maksimal. Harus masuk ke lingkungan keluarga, komunitas, bahkan media sosial,” kata dia.
Untuk 2026, kata dia, akan bahas metode baru yang lebih kontekstual dengan era digital.
Anggota Komisi A DPRD DIY, Radjut Sukasworo meminta, masyarakat untuk tidak tergesa-gesa mengaitkan insiden ini dengan isu agama tertentu. Ia menekankan, perlunya verifikasi atas informasi yang beredar luas, terutama di media sosial.
“Pelaku memang pernah beragama Kristen, tapi sudah pindah agama sejak kelas 6 SD. Kalau ini jadi isu agama, persoalan bisa melebar dan bias. Kami minta masyarakat melihat secara objektif dan tidak terpancing provokasi,” tegas Radjut.
Ia juga menilai kasus ini lebih tepat dalam konteks intoleransi sosial dan persoalan psikologis pelaku.
Sebelumnya, pihak kepolisian menyebut pelaku, ANF, adalah siswa kelas 3 SMP dari Bantul. Ia memiliki latar belakang keluarga dengan gangguan kejiwaan dan sudah menunjukkan gejala ketidakstabilan emosi sejak awal SMP.
“Motifnya belum pasti. Dari hasil awal pemeriksaan, tidak ada indikasi kebencian terhadap kelompok agama tertentu,” kata Kapolsek Kotagede, AKP Basungkawa.
Pelaki sering berkeliaran tanpa tujuan, jarang tidur di rumah, dan perilakunya cenderung menyendiri.
Sejauh ini, sebanyak 16 nisan rusak oleh pelaku, tersebar di Yogyakarta dan Bantul. Pasal 179 KUHP terkait perusakan makam, dengan ancaman pidana maksimal 1 tahun 4 bulan menjerat pelaku. (*)
Editor : Hendrati Hapsari