Kamis, Oktober 2, 2025

Undip Latih Nakes Puskesmas Hadapi Kegawatdaruratan Obstetri

Share

PanenTalks, Brebes – Program Studi PPDS Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang memberi pelatihan tenaga kesehatan di berbagai puskemas di Kabupaten Brebes menghadapi kegawatdaruratan obstetri.

Ketua Prodi Obsgyn FK UNDIP, Ratnasari mengatakan, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia relatif tinggi dari negara lain di ASEAN.

“Sehingga perlu adanya pelatihan agar tenaga kesehatan mampu menangani kasus secara cepat, tepat, dan terintegrasi,” kata dia, belum lama ini.

Pelatihan ini merupakan langkah UNDIP dalam mewujudkan SDGs 3: Good Health and Well-Being (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), dengan fokus peningkatan kapasitas individu tenaga kesehatan dalam menghadapi kegawatdaruratan obstetri. Hal tersebut mencegah kematian pada ibu dan bayi.

“Kita (UNDIP) adalah salah satu harapan Jawa Tengah untuk menjadi partner di dalam pencapaian penurunan AKI dan AKB, bersama-sama meningkatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan dari semua lini,” kata dia.

Salah satunya dari kegiatan pelatihan untuk menata tenaga kesehatan, bagaimana mereka bisa bekerja sama dalam mengidentifikasi suatu masalah deteksi dini, faktor risiko, potensi untuk menjadi gawat darurat; kemudian diagnosis secara cepat dan penanganan; membuat rujukan yang komprehensif; dan membangun super-system kerja sama tenaga ahli.

Ia menilai, Brebes adalah daerah dengan angka tertinggi kematian ibu dan bayi di Jawa Tengah. Pihaknya menempatkan peserta didik untuk meningkatkan kompetensi di RSUD Brebes. Sebagai partner, PPDS, mengolah keterampilan klinis, dan sebagai technical assistant dari tenaga ahli untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di daerah.

Dia menerangkan, pertolongan pada ibu dengan pendarahan pasca melahirkan. Kasus banyak terjadi berawal dengan pendarahan. Lalu, kasus preeklampsia postpartum. Kondisi preeklampsia muncul setelah persalinan, biasanya dalam 48 jam pertama tetapi bisa sampai enam minggu setelah melahirkan. Kondisi ini dapat menyebabkan kejang, sesak napas, stroke, kerusakan ginjal atau hati, bahkan kematian ibu.

Head of International Public Health Department, Liverpool School of Medicine, UK / Co-Director WHO Collaboration Center for Research and Training in Maternal and Newborn Health, Prof. Charles Anawo Ameh, Ph.D mengatakan, tenaga kesehatan harus selalu siap akan risiko kondisi kegawatdarutan.

“Jika merujuk pada SDGs Goal 3 (Target 3.1: Maternal Mortality) dan (Target 3.2: Neonatal Mortality), AKI global harus di bawah 0.07 persen atau setara dengan kurang dari 70 orang per 100.000 kasus melahirkan,” kata dia.

Sedangkan, kata dia, AKB global harus di bawah 1.2 persen untuk bayi usia di bawah 28 hari.

Dia menjelaskan pentingnya melaksanakan pelatihan kegawatdaruratan. Melalui pelatihan ini akan menambah pengetahuan, keterampilan, tingkatkan sistem dan integrasi dalam bekerja tim.

Jumlah dan kualitas obat, sistem transportasi dan komunikasi perlu ditingkatkan untuk membentuk sistem kualitas pelayanan kesehatan yang prima.

“Dengan riset bersama tenaga ahli, kita upayakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, khususnya di Brebes,” kata dia.

Dia menyarankan masyarakat meningkatkan kesadaran karena kasus kematian ibu dan bayi juga tidak lepas dari faktor sosiokultural. Seperti persepsi kesehatan di lingkungan masyarakat mengatur norma ibu hamil.

Seorang ibu juga harus menyiapkan diri menjadi ibu. Contohnya dengan belajar tentang “neonatal care” dan secara rutin mengecek kandungan ke Puskesmas atau rumah sakit. Keluarga pun harus memberi dukungan penuh kepada ibu hamil.

“Tentunya agar tenaga kesehatan dapat bekerja dengan maksimal, selain pelatihan harus dibekali dengan peralatan medis dan obat yang memadai. Ini adalah peran semua pihak, peran kita semua dan juga peran pemerintah,” kata dia. (*)

Read more

Local News