PanenTalks, Denpasar – Di tengah meningkatnya kesadaran akan dampak buruk sampah plastik terhadap lingkungan, penggunaan gelas kertas justru menghadirkan sebuah paradoks.
Gelas kertas, yang awalnya dipandang sebagai alternatif ramah lingkungan dan simbol gerakan “euforia hijau,” menyimpan ironi yang perlu dianalisis lebih mendalam.
I Nengah Muliarta, seorang akademisi dari Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa, menjelaskan bahwa popularitas gelas kertas didorong oleh anggapan konsumen bahwa beralih dari plastik sekali pakai ke kertas adalah langkah positif bagi lingkungan.
“Konsumen berbondong-bondong beralih dari gelas plastik ke gelas kertas, percaya bahwa langkah kecil ini akan membuat perbedaan besar,” ujarnya saat ditemui di Denpasar, Sabtu (19/4/2025).
Meskipun terbuat dari bahan yang dapat terurai, Muliarta mengungkapkan bahwa produksi gelas kertas memerlukan sumber daya alam yang signifikan. Prosesnya membutuhkan kayu, air, dan energi dalam jumlah besar, yang berkontribusi pada deforestasi.
Lebih lanjut, banyak gelas kertas dilapisi dengan polimer plastik untuk meningkatkan ketahanan dan mencegah kebocoran. Lapisan plastik ini justru menghambat proses daur ulang gelas kertas.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Hazardous Materials pada tahun 2021 dengan judul “Microplastics and other harmful substances released from disposable paper cups into hot water” menemukan bahwa gelas kertas sekali pakai dengan lapisan hidrofobik berbahan plastik (polietilen) atau kopolimer dapat melepaskan mikroplastik, ion, dan logam berat ke dalam air panas, yang berpotensi membahayakan kesehatan.
Temuan serupa dalam artikel berjudul “Nanoplastics from disposable paper cups and microwavable food containers” yang terbit di jurnal yang sama pada tahun 2024 menunjukkan bahwa gelas kertas sekali pakai berlapis low-density polyethylene (LDPE) melepaskan nanoplastik hingga 26 kali lebih banyak dibandingkan gelas berlapis polylactic acid (PLA).
Temuan-temuan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas penggunaan gelas kertas dalam mengurangi limbah. Penggunaan yang berlebihan justru berpotensi mengaburkan tujuan awal dari pengurangan sampah plastik.
Muliarta juga menyoroti bahwa “euforia hijau” dapat menciptakan ilusi di kalangan konsumen bahwa penggunaan gelas kertas secara masif tidak memiliki dampak negatif.
Untuk mencapai keberlanjutan yang sesungguhnya, Muliarta menekankan perlunya inovasi dalam teknologi daur ulang dan peningkatan kesadaran masyarakat akan praktik berkelanjutan.
Edukasi mengenai dampak lingkungan dari berbagai jenis kemasan menjadi krusial. Sebagai solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan, ia merekomendasikan penggunaan gelas yang dapat dipakai berulang kali, seperti gelas stainless steel atau kaca.
Lebih lanjut, Muliarta menilai bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam mendorong perubahan melalui kebijakan yang mendukung keberlanjutan. Penerapan pajak pada produk sekali pakai dan pemberian insentif bagi perusahaan yang menggunakan kemasan ramah lingkungan dapat menciptakan permintaan yang lebih tinggi untuk produk yang lebih lestari.
Paradoks gelas kertas ini menjadi pengingat bahwa upaya mencari solusi untuk masalah lingkungan memerlukan kehati-hatian dan analisis yang mendalam. “Euforia hijau” seharusnya tidak hanya menjadi tren sesaat, melainkan sebuah panggilan untuk tindakan nyata yang terukur dan efektif demi masa depan bumi yang lebih baik. (*)