Kamis, Juni 19, 2025

Guru Besar UGM Sebut Kebijakan Penghapusan Kuota Impor Bisa Matikan Produk Lokal

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Pemerintah Indonesia sedang menghadapi dilema. Pasalnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump baru saja mengumumkan akan mengenakan tarif bagi impor resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia dikenai tarif baru impor sebesar 32 persen.

Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia disebut siap untuk menegosiasi keputusan tersebut dengan tawaran peningkatan volume impor bagi AS. Bahkan Presiden akan menghapus kuota impor seluas-luasnya terutama komoditas impor berasal dari Amerika Serikat. 

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM sebagai pemerhati pangan dan komunikasi pertanian, Prof. Subejo, penghapusan impor ini sangat berisiko jika diterapkan. Sebab, awalnya pemerintah akan menghentikan impor pangan untuk meningkatkan swasembada pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani.

“Impor yang awalnya sudah diatur kuotanya kemudian diubah, saya rasa akan berisiko sebab kalau di satu sisi dapat memberikan kompetisi bagi produk-produk asing untuk masuk ke pasar Indonesia, tetapi juga pastinya akan berkompetisi dengan produk lokal,” kata Subejo, Rabu 16 April 2025.

Subejo mewanti-wanti nantinya produk lokal dengan tarif harga yang lebih tinggi daripada produk asing tidak akan dapat bersaing di pasar. Meski kompetisi diperlukan agar produk dalam negeri dapat memajukan daya saingnya, tetapi tetap diperlukan regulasi melindungi proteksi terhadap produk-produk lokal. Subejo mencontohkan, regulasi pertanian di Jepang melindungi beras lokal dengan memperketat beras-beras impor masuk ke Jepang.

“Saya kira belajar dari pengalaman itu dengan serta-merta membuka keran impor atau keran ekspor bagi negara mitra kita juga bukan kebijakan yang mungkin pilihannya tidak harus itu,” sebutnya.

Subejo menyarankan, supaya kuota impor tetap dipikirkan sembari meningkatkan sistem tata niaga perlu dievaluasi agar kuota-kuota ini tidak hanya dikuasai oleh sebagian pihak importir saja. Ia juga turut mengingatkan tujuan utama kuota impor adalah supaya menyeimbangkan kekurangan pasokan produksi dalam negeri atau mendatangkan bahan tidak dapat diproduksi oleh lokal.

Jika produk masuk dengan bebas tanpa regulasi, kondisi ekonomi Indonesia akan kolaps. “Contohnya beras, kalau ini tidak diatur komoditasnya, beras Thailand lebih murah Rp1.000,00 daripada beras Indonesia pasti konsumen kita memilih apapun yang lebih murah, tidak peduli asalnya. Hal ini juga sebab kita belum bisa ditumbuhkan nasionalisme terhadap produk lokal,” ujar Subejo.

Kehadiran impor komoditas lain tidak bisa diproduksi Indonesia seperti gandum di satu sisi dapat menjadi peluang. Hal ini, menurut Subejo, menjadi kompetisi bagi negara-negara yang masuk dan menawarkan harga lebih murah dan ini akan menguntungkan bagi produksi dalam negeri.

Dengan demikian, Subejo menyimpulkan, kebijakan mengenai impor ini dapat disesuaikan dengan komoditas. Komoditas tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan ada dari produksi lokal atau komoditas tidak dapat diproduksi di Indonesia.

Terlepas dari permasalahan impor terjadi, Subejo juga mengingatkan pentingnya untuk memproteksi petani dan komoditas diproduksi. Hal ini dapat dilakukan melalui penetapan harga pokok pembelian dilihat oleh Subejo belum efektif pelaksanaannya di lapangan.

Kebijakan bisa dilakukan untuk hasil pertanian juga dapat ditempuh dengan hilirisasi. Subejo mencontohkan, hilirisasi produk pertanian relatif tidak berhasil dengan harganya rendah dan jika tidak diolah, maka akan membusuk begitu saja.

“Saya membayangkan kalau pemerintah mendorong atau memfasilitasi investasi hilirisasi seperti membangun pabrik saus, pabrik pengeringan cabai sehingga jika terjadi oversupply produk bisa dihilirkan dan diindustrikan,” tambahnya.

Subejo berpendapat, sebelum mengambil kebijakan penghapusan kuota impor, pemerintah sebaiknya melakukan kajian mendalam mengenai jenis produk apa saja dan cara mengimpor.

“Dalam resiprokal ini memang harus dipikirkan secara matang mana produk-produk yang memang bisa dibuka dan yang justru harus diproteksi. Pasti prosesnya akan sangat panjang sehingga kebijakannya juga harus bertahap. Jangan sampai ide yang baik malah menghancurkan pertanian nasional,” pungkasnya. (*)

Editor : Hendrati Hapsari

Read more

Local News