PanenTalks, Jakarta – Indonesia terus mengakselerasi program “Indonesia Emas 2045” dengan fokus pada transformasi ekonomi, termasuk hilirisasi sumber daya alam, peningkatan inovasi dan riset, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Aksesi Indonesia ke Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menjadi langkah strategis untuk mengadopsi praktik terbaik global dan memperkuat posisi negara dalam menentukan kebijakan ekonomi dunia.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menjelaskan bahwa aksesi OECD bukan sekadar formalitas, melainkan pengungkit transformasi ekonomi.
“Kita membutuhkan lompatan besar, terobosan besar untuk bisa keluar dari middle income trap dan juga untuk bisa naik dari tren pertumbuhan kita yang selama beberapa tahun dalam satu dekade ini di kisaran 5%,” ujarnya dalam acara diskusi yang diselenggarakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada Senin (28/07).
Keanggotaan OECD juga diharapkan meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia, mengingat adopsi standar terbaik dalam tata kelola perusahaan, anti-korupsi, investasi, persaingan usaha, pengelolaan pasar keuangan, dan tata kelola pemerintahan yang transparan.
Pada pertemuan Dewan Menteri OECD bulan Juni lalu di Paris, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, telah menyerahkan Dokumen Initial Memorandum kepada Sekretaris Jenderal OECD.
Dokumen ini berisi analisis kesenjangan (gap analysis) terhadap 240 instrumen hukum dalam 32 bidang, menjadi dasar diskusi aksesi lebih lanjut.
“Penyerahan Initial Memorandum ini tepat satu tahun sejak kita menyerahkan peta jalan aksesi, membuktikan komitmen seluruh Kementerian/Lembaga dan stakeholder terkait,” tambah Susiwijono dikutip laman ekon.go.id.
Hasil asesmen mandiri menunjukkan sekitar 90% standar dan praktik Indonesia sudah sejalan dengan OECD, meskipun masih ada ruang untuk penyesuaian regulasi.
Untuk mendukung proses ini, Pemerintah telah membentuk Tim Nasional OECD melalui Keputusan Menko Perekonomian Nomor 232 Tahun 2024, yang melibatkan 64 Kementerian/Lembaga serta mitra non-pemerintah.
Kolaborasi aktif dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan think tank, dianggap krusial dalam menyelaraskan rekomendasi OECD dengan kebutuhan nasional. (*)