PanenTalks, Prancis– Pada sebuah pertemuan diplomasi maritim yang berlangsung di La Reunion, Prancis, Indonesia mencatat pencapaian besar dalam pengelolaan perikanan internasional. Sidang Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang digelar pada 7 hingga 17 April lalu menghasilkan keputusan strategis yang menguntungkan Indonesia—tambahan kuota tangkapan tiga jenis tuna yang akan berlaku mulai tahun 2025.
Keputusan ini membawa kabar baik bagi industri perikanan nasional. Kuota big eye tuna bertambah 2.791 ton, menjadi total 21.396 ton untuk periode 2026–2028. Sementara itu, kuota skipjack tuna (cakalang) kini mencapai 138 ribu ton, dan yellowfin tuna meningkat menjadi 45.426 ton untuk tahun 2025.
Langkah ini tidak terjadi begitu saja. Delegasi Indonesia, yang dikomandoi oleh Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Trian Yunanda, memainkan peran kunci dalam mengamankan kesepakatan ini.
“Kita mengawal berbagai isu strategis yang berpengaruh langsung pada masa depan perikanan Indonesia, mulai dari peningkatan kuota hingga perlindungan awak kapal perikanan,” ujar Trian dalam siaran resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari Jakarta.
Diplomasi yang Berbuah Hasil
Selain keberhasilan dalam kuota tangkapan, Indonesia juga memperkuat posisi diplomasi maritimnya di tingkat internasional. Salah satu pencapaian penting adalah diperolehnya pengecualian penggunaan observer nasional dalam kegiatan alih muatan kapal rawai tuna, sebuah langkah yang semakin mempertegas fleksibilitas regulasi perikanan Indonesia.
Sidang IOTC kali ini juga menjadi arena bagi negara-negara anggota Coastal States Alliance (CSA)—termasuk Indonesia, Maladewa, Afrika Selatan, Pakistan, dan Sri Lanka—untuk menunjukkan kekuatan diplomasi kolektif.
Konsolidasi ini memperkuat suara negara pantai dalam pengambilan kebijakan, sebuah langkah yang semakin mendorong Indonesia untuk mendukung formalisasi CSA sebagai platform diplomasi kolektif di Samudera Hindia.
Tak hanya itu, Indonesia aktif mendorong partisipasi industri perikanan dalam program observer nasional serta meningkatkan kerja sama dengan konsorsium ROP IOTC dalam pelatihan dan evaluasi laporan. Semua ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menyempurnakan sistem pemantauan perikanan, sekaligus memastikan kepatuhan terhadap regulasi internasional.
Mengutamakan Keberlanjutan
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Lotharia Latif, menegaskan bahwa diplomasi perikanan Indonesia selalu berorientasi pada keberlanjutan. “Forum IOTC menjadi instrumen penting dalam memastikan bahwa perikanan tuna tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga tetap lestari untuk generasi mendatang,” ujarnya.
Tambahan kuota ini memberikan peluang besar bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan nasional, namun juga membawa tanggung jawab. Latif menekankan pentingnya penerapan praktik penangkapan yang terukur dan sesuai standar, termasuk ketatnya aturan penggunaan kapal dan alat tangkap yang tidak merusak ekosistem laut.
“Kita harus memastikan bahwa sistem pelaporan dan ketelusuran ikan dijalankan dengan baik. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya diakui sebagai pelaku perikanan sah, tetapi juga sebagai negara yang berkontribusi menjaga keseimbangan ekologi lautan,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, telah menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara ekonomi dan ekologi dalam kebijakan perikanan nasional. Sejalan dengan itu, KKP terus berkomitmen memastikan bahwa pertumbuhan sektor perikanan tetap berkelanjutan, tanpa mengorbankan kelestarian sumber daya laut.(*)