Jumat, Oktober 3, 2025

Royalti Lagu Jadi Isu, Kafe di Yogyakarta Pilih Heningkan Suasana

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Royalti lagu bikin suasana kafe hening. Ruang publik komersial harus membayar royalti lagu memicu respons dari sejumlah pelaku usaha di Yogyakarta.

Alih-alih menghadapi risiko hukum akibat regulasi yang dinilai belum sepenuhnya jelas, pemilik kafe memilih langkah drastis. Mereka mematikan musik di tempat usaha.

Ya, kebijakan itu menjadikan suasana kafe kini hening. Musik tak lagi menyemarakkan kafe. Seperti di salah satu kafe di Yogyakarta, Spatialty Kitchen & Coffee. Rangga, sang pemilik, menyatakan menghentikan pemutaran lagu di kafe.

“Dengan memberlakukan kebijakan itu, tentu kami memang harus membayar royalti itu. Namun kami memutuskan lebih baik tidak memasang musik saja,” ujar Rangga.

Harus Ada Pembedaan

Meski mendukung perlindungan hak cipta musisi, Rangga menilai kebijakan ini seharusnya ada pembedaan antara pelaku usaha besar dan kecil seperti UMKM.

Ia menyebut selama ini menggunakan layanan YouTube Music berbayar untuk menyuguhkan musik klasik Barat sesuai konsep kafenya. Namun, belakangan ia baru mengetahui langganan layanan digital tidak otomatis membebaskan kewajiban royalti untuk pemutaran di ruang publik.

“Selama ini kami menyetel lagu dari platform YouTube Music karena kami memang berlangganan. Tapi setelah ramai soal aturan ini, kami juga baru tahu ternyata tetap harus bayar royalti lagu [kalau memutar di ruang publik],” ucapnya.

Ia mengaku khawatir apabila penarikan royalti lagu tanpa melihat konteks dan kondisi usaha. Apalagi isu penarikan royalti untuk suara alam yang sempat mencuat, turut menambah kekhawatiran pelaku usaha.

“Bagi kami ini agak berat juga. Apalagi dengan kondisi ekonomi akhir-akhir ini. Jadi lebih baik tidak pakai musik dulu,” kata Rangga.

Walau begitu, ia mendukung regulasi yang bertujuan melindungi hak cipta. Namun dia juga berharap pelaksanaannya secara transparan dan adil.

“Asal regulasi jelas dan bijak, ya tidak masalah. Tinggal teman-teman kafe nanti memutuskan sendiri. Apakah mereka membayar royalti atau tidak pakai musik sama sekali,” ujarnya.

Kebijakan ini pun menuai beragam reaksi dari pelanggan. Sebagian pengunjung merasa kehilangan nuansa khas kafe yang biasanya ada iringan musik.

“Kalau kafe tanpa musik itu rasanya sepi. Saya suka nongkrong karena suasananya yang hidup dengan adanya putaran lagu-lagu pop masa kini,” ujar Nuzul, warga Yogyakarta.

Namun, ada juga yang menyambut baik suasana yang lebih tenang, seperti harapan Mei.

“Tidak masalah jika kafe tidak memutar musik. Saya sendiri lebih suka yang suasananya tenang,” ujar dia saat sedang nongkrong di kafe.

Hak Pertunjukan

Sebagai informasi, kewajiban membayar royalti atas pemutaran lagu di ruang publik telah berlaku sejak 2016 lewat SK Menteri Hukum dan HAM. Royalti itu masuk dalam kategori performing rights atau hak pertunjukan, dan dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Komisioner LMKN, Ikke Nurjanah, menyebut penarikan royalti sebenarnya telah berjalan hampir satu dekade. Hasilnya, para pencipta lagu yang memang menerima royalti,

“Pada prinsipnya, selama hampir 10 tahun terakhir penarikan royalti ini sudah berjalan,” kata Ikke.

Ia juga menyatakan tarif royalti berdasarkan kajian mendalam serta mengacu pada standar internasional yang relevan dengan kondisi sosial Indonesia. LMKN pun membuka diri bagi pelaku usaha yang ingin mengurus lisensi resmi tanpa merasa terbebani.

“Kami sangat terbuka untuk berkomunikasi, berdiskusi, serta siap memfasilitasi setiap proses dan prosedur. Tidak ada niat sama sekali untuk memberatkan dan menyulitkan pengguna,” kata dia. (*)

Read more

Local News