Kamis, Juni 19, 2025

Jejak Sejarah dari Kota Tua

Share

PanenTalks, Jakarta-Sebuah kisah bermula dari pelabuhan bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sudah ada sejak abad ke-5, dibawah kepemilikan Kerajaan Tarumanegara. Kemudian, di abad ke-12, Kerajaan Sunda berhasil merebut pelabuhan itu dan sukses menjadikannya sebagai pelabuhan yang berkembang di masanya.

Beberapa literasi menyebutkan, pelabuhan tersebut banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari negara-negara lain, seperti Tiongkok, Arab, India, Inggris dan Portugis. Malah, bangsa Portugis membangun relasi dengan Kerajaan Sunda hingga diizinkan membuat kantor dagang di sekitar pelabuhan.

Bertahun-tahun kemudian, datanglah pasukan gabungan dari Kesultanan Demak-Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah. Mereka berperang melawan Portugis dan berakhir dengan kemenangan pasukan Fatahillah pada 22 Juni 1527. Sunda Kelapa pun berubah nama menjadi Jayakarta.

Hingga suatu saat, masuklah era kolonial Belanda di abad ke-16, melalui Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC). Mereka datang dan menguasai Jayakarta, lalu mengganti namanya menjadi Batavia. Kawasan ini lantas dibangun mirip dengan kota-kota di Belanda, dalam bentuk blok.

Masing-masing blok dipisahkan oleh kanal dan dilindungi oleh dinding sebagai benteng, dan parit. Batavia ini selesai dibangun pada 1650. Batavia tua adalah tempat tinggal bangsa Eropa, sementara bangsa Cina, Jawa dan penduduk asli lainnnya disingkirkan ke tempat lainnya.

Jika sempat, luangkanlah waktu seharian penuh untuk menyusuri titik-titik sejarah yang bisa membawa kenangan ke masa lampau. Bermula dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Terletak di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, pelabuhan ini masih tetap dioperasikan sebagai dermaga kapal-kapal besar pengangkut berbagai macam barang.

Pengunjung dapat melihat aktivitas bongkar muat kapal di sini, termasuk melihat aksi-aksi para kuli panggul wara-wiri memanggul semen atau barang-barang berat lainnya.

Selain itu, kapal-kapal phinisi yang bersandar di dermaga bisa menjadi obyek foto menarik bagi pengunjung. Jika belum puas berfoto, ada kegiatan menarik lainnya, yakni mengayuh sampan sambil melihat dari dekat kapal phinisi dan mengelilingi pelabuhan. Biaya sewa sampan berkisar Rp50.000 tergantung rute dan tentu saja, bagaimana kita menawarnya.

Di seputaran Sunda Kelapa, juga terdapat Museum Bahari yang bisa dikunjungi wisatawan. Di masa jayanya, bangunan ini dipakai sebagai gudang untuk menyimpan, memilih dan mengemas hasil bumi seperti rempah yang menjadi komoditi utama VOC. Bangunan itu berdiri di samping muara sungai Ciliwung dengan dua sisi. Bagian barat adalah Westzijdsche Pakhuizen atau Gudang Barat yang dibangun bertahap dari tahun 1652 hingga 1771. Kemudian, bagian timur disebut Oostzijdsche Pakhuizen atau Gudang Timur. Sementara, Museum Bahari berada di Gedung Barat.

Ada banyak koleksi yang bisa dilihat, seperti jenis perahu tradisional dari berbagai bentuk, gaya dan hiasan sampai kapal zaman VOC. Pengunjung juga bisa melihat miniatur dan juga model kapal modern serta perlengkapan penunjang untuk berlayar serta peralatan yang dipakai pelaut pada masa itu seperti jangkar, alat navigasi, teropong, meriam dan model mercusuar.

Museum Bahari juga memiliki koleksi biota laut, data jenis dan sebaran ikan di Perairan Indonesia hingga cerita serta lagu tradisional nelayan Nusantara. Dalam museum ini juga memiliki koleksi matra TNI AL, koleksi kartografi, tokoh-tokoh maritim Nusantara, maket Pulau Onrust dan perjalanan kapal KPM Batavia Amsterdam.

Trio Museum

Destinasi selanjutnya adalah menyambangi Kota Tua. Di sini, wisatawan bisa lebih jauh menjelajah sejarah Kota Jakarta dengan memasuki museum-museum yang letaknya saling berdekatan.

Museum pertama yang wajib dikunjungi adalah Museum Sejarah Jakarta, terletak di Jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta Barat.

Museum Sejarah Jakarta atau masyarakat biasa menyebutnya sebagai Museum Fatahillah ini, berdiri di atas lahan lebih dari 1.300 meter persegi, dengan gaya neo klasik khas Eropa. Hanya dengan merogoh Rp5.000 per orang, pengunjung bisa melihat lebih dekat seperti apa Kota Jakarta di masa lalu.

Sebelum menjadi museum, awalnya bangunan megah nan mewah ini merupakan gedung Balaikota (Stadhuis) di masa pemerintahan VOC. Dibangun pertama kali pada tahun 1620 oleh Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszoon Coen dan diresmikan oleh Gubernur Jendral Abraham Van Riebeeck pada tahun 1710.

Jika dilihat dari bentuknya, museum ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah.

Tidak seperti desain-desain museum terdahulu yang cenderung kaku, desain museum ini justru kekinian dengan banyak memainkan ornamen warna dan penataan modern. Setidaknya ada 23.500 koleksi barang bersejarah, baik dalam bentuk benda asli maupun replika, dapat dilihat pengunjung, mulai dari lukisan-lukisan, perabotan rumah tangga, prasasti-prasasti, hingga senjata.

Satu hal menarik dari museum ini adalah ruang bawah tanah yang dijadikan tempat tahanan, posisinya terletak di bagian belakang gedung. Penjara itu terdiri dari lima ruangan sangat kecil dan pengap sehingga untuk masuk kedalamnya kita harus menundukkan kepala. Di tengah ruangan terdapat sekumpulan bandul besi, dimana dahulunya digunakan sebagai belenggu kaki para tahanan.

Sebagai pelengkap dari museum, jangan lupa melihat meriam Si Jagur yang melegenda itu dan cantiknya patung Dewa Hermes.

Beralih ke Museum Wayang. Letaknya tidak jauh dari Museum Sejarah Jakarta. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah sebuah gereja yang didirikan oleh pemerintahan Belanda di tahun 1640, bernama De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda).

Sempat beberapa kali mengalami pemugaran. Kemudian, pada 1732 diperbaiki dan namanya diganti menjadi De Nieuw Holandsche Kerk. Bangunan gereja ini pernah hancur total akibat gempa bumi di tahun 1808.

Bertahun-tahun kemudian, gereja yang runtuh itu dibangun kembali menjadi gedung museum yang resmi dibuka pada 13 Agustus 1975. Walaupun mengalami pemugaran, beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini.

Saat menyusuri bagian dalam museum, terdapat taman kecil dengan Sembilan prasasti tergeletak di dinding dan lantai. Pada prasasti-prasasti tersebut terukir nama pejabat pemerintah Belanda yang dimakamkan di area halaman gereja. Salah satu prasasti tersebut tertulis nama Jan Pieterszoon Coen, tidak lain adalah Gubernur Jenderal Belanda terpandang pada masa itu karena berhasil menguasai Jayakarta.

Sementara itu, koleksi wayang yang terpajang dalam museum ini terdiri dari beberapa jenis, antara lain wayang kulit, wayang golek, topeng, wayang kaca, wayang seng, lukisan. Nah, bagi pengunjung yang rindu dengan boneka Si Unyil dan teman-temannya, harus mampir ke museum ini dan melihatnya langsung.

Tidak hanya itu, ada pula koleksi boneka-boneka dari mancanegara seperti India, Cina, Belanda Malaysia, Thailand, Suriname, Vietnam, dan Kamboja. Lalu, koleksi alat musik tradisional seperti gamelan. Hingga saat ini, museum wayang memiliki koleksi lebih dari 5.000 buah wayang.

Lagi-lagi, hanya diperlukan biaya Rp5.000 per orang untuk masuk dan menikmati koleksi wayang-wayang tersebut. Murah meriah, bukan?

Masih di seputaran Kawasan Kota Tua, berdekatan dengan Museum Sejarah Jakarta dan Museum Wayang, beranjaklah ke Museum Seni Rupa dan Keramik. Fungsi bangunan ini adalah Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia) pada 1870.

Seperti kebanyakan bangunan tua pada umumnya, bangunan ini sempat bergonta-ganti fungsi, mulai dari asrama prajurit Belanda, kantor Walikota, kantor Dinas Museum dan Sejarah, Balai Seni Rupa, sampai terakhir resmi menjadi museum di tahun 1977.

Lebih dari 500 karya seni rupa terdiri dari berbagai bahan dan teknik berbeda, seperti patung, totem kayu, grafis, sketsa, dan batik lukis. Selain itu, tersimpan pula koleksi-koleksi unggulan dan amat penting bagi sejarah seni rupa di Indonesia, antara lain lukisan yang berjudul ‘Pengantin Revolusi’ karya Hendra Gunawan, ‘Bupati Cianjur’ karya Raden Saleh, ‘Ibu Menyusui’ karya Dullah, ‘Seiko’ karya S.Sudjojono, dan ‘Potret Diri’ karya Affandi.

Museum ini juga memiliki keramik dari Majapahit abad ke-14 yang menunjukkan ciri keistimewaan yang indah dan bernilai sejarah yang mempunyai keragaman bentuk serta fungsi. Keramik asing meliputi berbagai bentuk, ciri, karakteristik, fungsi dan gaya berasal dari China, Jepang, Thailand, Eropa. Terbanyak dari China terutama pada masa Dinasti MIng dan Ching.

Sejarah Perbankan Indonesia

Ingin mengetahui awal mulanya dunia perbankan hadir di Indonesia, singgahlah ke Museum Bank Mandiri. Lokasinya sangat mudah dicari, di jalan Lapangan Stasiun No.1, Jakarta Barat, atau berseberangan dengan halte TransJakarta Kota.

Di masa berdirinya, gedung ini merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan bernama Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia.

Museum ini sangat kental dengan suasana perbankan tempo dulu. Begitu memasuki area dalam museum, pengunjung akan disambut oleh patung penjaga. Stained glass yang merupakan ciri utama Museum Bank Mandiri, terletak di bagian depan, di tengah-tengah tangga menuju lantai dua, terpajang indah menyambut kedatangan para pengunjung.

Sungguh menarik berkunjung ke Museum Bank Mandiri. Pasalnya, pengunjung akan mendapat pemandangan yang sama sekali tidak ditemui pada saat datang ke bank di zaman sekarang. Ya, suasana tempo dulu sangat kental terasa saat memasuki area dalam gedung yang luas. Ruang teller atau kasir nampak dibatasi teralis besi yang memisahkan antara nasabah dengan petugas bank.

Pengunjung bisa melihat berbagai koleksi yang disajikan dalam museum ini. Koleksi museum terdiri dari berbagai macam koleksi yang terkait dengan aktivitas perbankan zaman dulu dan perkembangannya, koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), brandkast, dan lain-lain.

Koleksi perlengkapan operasional bank tempo dulu yang unik, antara lain adalah peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan, mesin cetak, alat pres bendel, seal press, safe deposit box maupun aneka surat berharga seperti bilyet deposito, sertifikat deposito, cek, obligasi, dan saham. Di samping itu, ornamen bangunan, interior dan furnitur museum ini masih asli seperti ketika didirikan.

Satu lagi tak boleh terlewatkan adalah Museum Bank Indonesia. Lokasinya masih sejajar dengan Museum Bank Mandiri. Berdiri pada tahun 1828, museum ini terlihat sangat megah dengan gaya neo klasik. Sebelum menjadi museum seperti saat ini, bangunan tersebut sempat berfungsi sebagai Bank Indonesia Kota. Namun, jauh sebelum itu, tepatnya di tahun 1625 pernah berdiri gereja Protestan dengan bentuk sederhana.

Di dalam museum ini, pengunjung bisa menyaksikan kisah perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953. Kemudian, terpampang pula kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multimedia, seperti penampilan elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia.

Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik. Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp5000, pengunjung bisa menikmati ragam koleksi dunia perbankan Indonesia, termasuk berbagai jenis uang yang pernah berlaku sejak zaman kerajaan Nusantara, hingga era sekarang. Selamat ulangtahun Jakarta. Jangan lupa mampir ke museum di Kota Tua, ya!

Read more

Local News