Senin, Agustus 18, 2025

Kemarau Basah Melanda, Ini Dampaknya Bagi Dunia Pertanian

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Di tengah euforia keberhasilan mencetak surplus beras pada awal 2024, sektor pertanian nasional kini menghadapi tantangan baru yang tidak terduga, kemarau basah. Fenomena cuaca ini mulai berdampak nyata bagi para petani di sejumlah daerah.

Fenomena kemarau basah yang membuat bulan-bulan biasanya kering justru diguyur hujan deras harus mendapat tanggapan serius. Pakar agrometeorologi dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, Ph.D., menilai fenomena ini bisa memicu beragam risiko. Tidak hanya bencana hidrometeorologis, tetapi juga ancaman terhadap ketahanan pangan.

“Merujuk pada informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau basah diprediksi berlangsung selama tiga bulan ke depan, yaitu sampai Oktober 2025,” ujar Bayu di kampus FTP UGM, Senin, 14 Juli 2025.

Memukul Petani Hortukultura

Menurut Bayu, perubahan pola musim ini telah memukul para petani. Pasalnya mereka biasa memulai musim tanam hortikultura di bulan Mei hingga Juli. Petani yang sudah bersiap tanam cabai atau bawang merah justru berhadapan dengan hujan berkepanjangan yang mengakibatkan banjir dan kegagalan tanam.

“Tidak sedikit petani mengalami gagal tanam karena perhitungan petani yang ‘meleset’,” tuturnya. Kondisi ini dipicu asumsi petani bahwa Mei dan Juni sudah memasuki kemarau.

Namun realitanya, hujan justru masih terus turun. Akibatnya banyak lahan tergenang air dan berdampak pada potensi gagal panen atau puso.

Meski demikian, Bayu menyebut kemarau basah juga membawa sisi positif, terutama bagi wilayah-wilayah yang selama ini bergantung pada air hujan.

“Meski berdampak negatif, kemarau basah ini juga bisa berdampak secara positif untuk pertanian. Peningkatan intensitas curah hujan ini akan menguntungkan untuk wilayah kering dan tadah hujan,” katanya.

“Ini membuat ketersediaan air di wilayah-wilayah itu tercukupi dan petani di wilayah tersebut bisa melakukan aktivitas penanaman, seperti di wilayah Papua dan Indonesia bagian Timur lainnya,” ujar Bayu lagi.

Antisipasi Berbasis Data

Untuk menghadapi dampak jangka pendek maupun panjang dari kondisi ini, Bayu menekankan pentingnya langkah antisipatif berbasis data dan teknologi.

Salah satu yang paling urgen adalah tersedianya prediksi cuaca secara akurat dan spesifik hingga ke tingkat desa. Informasi ini, menurutnya, harus disebarluaskan kepada masyarakat, terutama petani, guna merespons anomali cuaca seperti La Nina.

“Prediksi awal terjadinya La Nina ini bermanfaat dalam membantu perencanaan dan pengelolaan berbagai sektor. Misalnya saja sumber daya air, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, dan perikanan. Selain itu menghindari atau mengurangi potensi kerugian yang lebih besar,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya edukasi berkelanjutan mengenai dampak fenomena cuaca ekstrem seperti La Nina, dan peran krusial penyuluh pertanian dalam menyampaikan informasi tersebut langsung kepada petani.

“Yang tak kalah penting bisa memastikan kesiapan sarana dan prasarana untuk menghadapi La Nina. Perlu ketersediaan pompa untuk pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier/kwarter. Petani juga bisa menggunakan benih tahan genangan seperti Inpara 1-10, Inpari 29, Inpari 30, Ciherang, dan lainnya,” imbuhnya.

Bayu juga mengusulkan pemerintah mulai mempertimbangkan skema perlindungan petani yang lebih konkret. Menurui dia perlu penyediaan asuransi pertanian bagi mereka yang mengalami gagal panen akibat anomali iklim. (*)

Read more

Local News