Rabu, Juni 18, 2025

Kemenperin Tanggapi Sorotan AS Soal Barang Bajakan

Share

PanenTalks, Jakarta-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan tanggapan resmi terkait laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Dalam laporan tersebut, Indonesia kembali disorot karena maraknya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya peredaran barang bajakan yang disebut mengganggu akses pasar bagi perusahaan asal AS.

Salah satu lokasi yang menjadi sorotan adalah kawasan perdagangan Mangga Dua, Jakarta, yang disebut sebagai pusat peredaran barang bajakan. Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menegaskan bahwa sebagian besar barang bajakan merupakan produk impor yang masuk melalui mekanisme reguler maupun e-commerce, termasuk yang memanfaatkan fasilitas gudang Pusat Logistik Berikat (PLB).

Untuk itu, Kemenperin telah menginisiasi penguatan regulasi dengan mewajibkan sertifikat merek dari prinsipal bagi importir. Aturan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 5 Tahun 2024 sebagai upaya menyaring produk ilegal, terutama tekstil, produk tekstil, tas, dan alas kaki.

“Permenperin ini bertujuan menyaring dan mencegah agar barang bajakan tidak masuk pasar domestik melalui mekanisme impor,” ujar Febri dalam keterangan resminya, Selasa (22/4).

Namun demikian, regulasi tersebut berumur pendek. Permenperin No. 5/2024 kehilangan kekuatan hukumnya menyusul perubahan Permendag No. 36/2024 menjadi Permendag No. 8/2024 pada Mei 2024, yang menghapus kewajiban importir untuk melampirkan sertifikat merek dalam permohonan impornya.

“Ketiadaan kewajiban sertifikat merek membuat barang bajakan kembali mudah masuk ke pasar Indonesia, dan ini sangat disayangkan,” tegas Febri.

Kemenperin menilai bahwa pengawasan dan penindakan barang bajakan di pasar domestik tidak akan efektif, terutama karena luasnya pasar dan rumitnya prosedur hukum berbasis delik aduan. Sebagian besar pemilik merek berada di luar negeri, sehingga sulit bagi aparat untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran secara langsung.

“Apalagi kalau penindakannya harus berbasis delik aduan, sangat tidak realistis. Bukankah lebih baik dicegah dari awal lewat kebijakan impor yang ketat?” ujar Febri.

Febri menambahkan bahwa keberhasilan kebijakan serupa sudah terbukti di sektor Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT). Bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Kemenperin mewajibkan registrasi IMEI dan sertifikat merek untuk setiap perangkat yang beredar. Hasilnya, peredaran smartphone ilegal menurun drastis.

Terkait pembahasan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang dimasukkan ke dalam agenda negosiasi dagang dengan AS, Kemenperin menyatakan bahwa regulasi TKDN ICT sejauh ini belum ada.

“Saat ini belum ada kebijakan khusus terkait TKDN ICT. Jadi yang mau dideregulasi itu apa? Ini bisa jadi keliru pemahaman,” jelas Febri.

Menurutnya, kebutuhan server untuk data center masih sepenuhnya dipenuhi melalui impor karena industri dalam negeri belum mampu memproduksi perangkat sejenis. Bahkan, Kemenperin mengaku belum menerima keluhan dari perusahaan teknologi AS seperti Apple, GE, Oracle, dan Microsoft.

“Justru Apple Inc. pernah meminta skema khusus dalam Permenperin No. 29 Tahun 2017 untuk memfasilitasi penjualan mereka, bukan mengeluhkan TKDN,” ujar Febri.

Kemenperin menegaskan kesiapannya untuk meninjau ulang kebijakan TKDN sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Evaluasi ini bahkan telah dimulai sejak Januari 2025, sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal terhadap beberapa negara, termasuk Indonesia.

“Kami tegak lurus terhadap arahan Presiden. Evaluasi kebijakan TKDN telah berjalan sebelum ada tekanan eksternal,” tutup Febri.

Read more

Local News