Kamis, Oktober 16, 2025

Kepemimpinan Baru di LPS, Anggito Abimanyu Bawa Angin Segar bagi Literasi Keuangan

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Penunjukan Anggito Abimanyu sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menggantikan Purbaya Yudhi Sadewa, membuka harapan baru dalam penguatan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional.

Di tengah tantangan transformasi digital dan bonus demografi, kepemimpinan Anggito dipandang strategis untuk memperluas jangkauan LPS sebagai lembaga pelindung simpanan sekaligus agen pemberdayaan masyarakat.

Salah satu suara yang menyoroti pentingnya perubahan ini datang dari Ketua Inklusi Pemuda Indonesia sekaligus Pembina Media Ruang Suara, Raenald Arzan Sitompul. Ia menilai kepemimpinan Anggito berpotensi membawa arah baru yang lebih relevan dengan kebutuhan generasi muda dan masyarakat di daerah.

“Anak muda hari ini bukan hanya pengguna layanan keuangan, tapi juga pembentuk budaya finansial baru yang lebih terbuka dan digital,” kata Raenald dalam keterangannya pada Sabtu, 11 Oktober 2025.

Menurutnya, visi Anggito yang dirumuskan dalam konsep AKSARA (Aman, Kuat, Sejahtera, dan Ramah) menunjukkan bahwa LPS tidak lagi cukup hanya hadir sebagai penjaga stabilitas, tetapi harus tampil aktif mengedukasi publik—khususnya generasi muda—dalam memahami risiko dan peluang keuangan modern.

“Tanpa literasi yang merata, potensi ekonomi digital sulit berkembang dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan bisa melemah,” tutur Raenald.

Raenald menyoroti adanya ketimpangan antara inklusi dan literasi keuangan. Berdasarkan data dari OJK dan BPS, indeks inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 80,5%, namun tingkat literasi keuangan baru berada di angka 66,4%.

Ketimpangan ini, menurutnya, bisa menjadi hambatan serius dalam mewujudkan masyarakat yang melek finansial dan terlindungi dari risiko ekonomi.

Ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih inklusif, terutama bagi masyarakat di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar), yang selama ini masih mengandalkan sistem keuangan informal tanpa perlindungan hukum.

“Banyak masyarakat di pedesaan yang masih bergantung pada sistem keuangan informal, seperti arisan atau pinjaman antarwarga, yang sering kali tidak memiliki perlindungan hukum maupun jaminan keamanan,” ujarnya.

“Di sisi lain, masyarakat perkotaan sudah lebih aktif berinteraksi dengan layanan digital banking, e-wallet, dan investasi daring. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan inklusi keuangan belum sepenuhnya inklusif secara substansial, akses memang terbuka, tetapi pemahaman masih tertutup,” kata Raenald lagi.

Dia, lebih lanjut, mengatakan, “Tanpa pemerataan literasi, potensi ekonomi digital di pedesaan akan sulit berkembang, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan formal bisa melemah.”

Dalam konteks tersebut, Raenald mengusulkan agar LPS mengubah pendekatannya, dari lembaga yang hanya melindungi simpanan menjadi institusi yang juga memberdayakan masyarakat. Ia menyebutkan tiga langkah strategis yang dapat menjadi kunci penguatan literasi dan inklusi keuangan.

Pertama, memperluas edukasi keuangan ke lingkungan pendidikan dan komunitas kreatif agar generasi muda memahami konsep keuangan secara komprehensif, mulai dari menabung, berinvestasi, hingga mengelola utang.

Kedua, memaksimalkan media digital sebagai sarana kampanye edukasi yang menarik dan mudah diakses. Penggunaan media sosial dan kolaborasi dengan influencer dinilai mampu menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam.

Ketiga, membangun kolaborasi dengan pemangku kepentingan lokal di daerah 3T untuk memperkuat akses terhadap layanan keuangan dan menghadirkan program literasi yang kontekstual.

“Dengan tiga langkah ini, literasi dan inklusi finansial dapat tumbuh beriringan, menciptakan ekosistem keuangan yang lebih tangguh, transparan, dan berdaya bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.

“Jika LPS mampu mengubah kehadirannya dari lembaga yang ‘melindungi di belakang layar’ menjadi lembaga yang ‘berdialog di depan publik, maka kepercayaan itu akan tumbuh bukan karena kewajiban, melainkan karena kedekatan,” kata Raenald mengakhiri. (*)

Read more

Local News