PanenTalks, Yogyakarta – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada di tahap krusial dalam upaya mencapai eliminasi malaria pada tahun 2025. Dalam pertemuan bersama Tim Asesmen Eliminasi Malaria 2025 di Ndalem Ageng, Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Selasa 12 Agustus 2025, berbagai pihak menegaskan pentingnya kerja sama lintas sektor dalam memastikan keberhasilan program ini.
Sebagai daerah yang menjadi pusat pariwisata, pendidikan, dan pertukaran antarwilayah, DIY menghadapi tantangan tersendiri dalam mencegah kasus impor malaria.
Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X menyatakan perlunya penguatan koordinasi lintas sektor dan pemantauan ketat terhadap mobilitas penduduk.
“Kita harus memastikan komitmen kuat dari seluruh sektor terkait dalam penanganan dan pengawasan standar,” ujar Sri Paduka.
Pendekatan Kearifan Lokal
Selain itu, Sri Paduka menggarisbawahi perlunya pendekatan berbasis kearifan lokal serta pelibatan institusi pendidikan tinggi untuk memperkuat strategi penanggulangan.
“Melalui asesmen ini, kita berharap dapat memperkuat langkah-langkah penanggulangan dan memastikan capaian eliminasi malaria pada 2025,” kata dia lagi.
Ketua Komisi Penilaian Eliminasi Malaria Nasional, Dr. dr. Ferdinan J. Laihad, MPH, turut menyampaikan refleksi atas perjalanan panjang pemberantasan malaria di Indonesia, termasuk di wilayah Yogyakarta. Ia menyebutkan bahwa sejarah panjang perjuangan ini dimulai bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia.
“Perjuangan melawan malaria sudah cukup panjang, mulai dari arsip sebelum perang hingga masa Bung Karno yang menyemprot di Yogyakarta” kata Ferdinan.
Ia juga mengingatkan kembali lonjakan kasus malaria pasca krisis ekonomi 1998 yang sempat membuat Indonesia kewalahan. Namun pada akhirnya kasus perlahan menurun dan masuk tahap eliminasi. Namun, ia mengingatkan bahwa status ini tidak boleh membuat masyarakat dan pemerintah lengah.
“Walaupun sudah memasuki eliminasi, kita tidak boleh lengah karena malaria bisa kembali jika tidak waspada,” ujar dia menegaskan.
Potensi Ancaman
Ferdinan juga menyoroti potensi ancaman dari mobilitas tinggi wisatawan di DIY. Menurutnya, meskipun nyamuk lokal bukan pembawa parasit malaria, mereka bisa menjadi vektor jika parasit dari luar terbawa masuk.
“Jika parasit terbawa masuk, nyamuk yang ada bisa menjadi vektor penularan baru. Maka, kita harus menjaga eliminasi ini dengan pengawasan migrasi yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat,” katanya.
Pendokumentasian perjalanan eliminasi malaria juga penting sebagai catatan sejarah dan motivasi untuk menjaga capaian tersebut agar tidak kembali mundur.
Apresiasi atas upaya DIY juga datang dari WHO Indonesia. Dr. Herdiana Hasan Basri, M.Kes, M.Epi, menyebut eliminasi malaria di Yogyakarta sebagai momentum penting dalam sejarah kesehatan nasional. Ia mengingatkan kembali momen penyemprotan malaria di Kalasan oleh Presiden Soekarno pada 1959 yang menjadi tonggak Hari Kesehatan Nasional.
“Dari perjuangan melawan malaria di DIY lahir banyak profesor, dokter, dan ilmuwan yang menjadikan daerah ini salah satu sumber keilmuan di bidang kesehatan,” ujarnya.
Herdiana pun menekankan bahwa keberhasilan ini hanya bisa dijaga lewat kerja sama lintas sektor yang kuat dan kesadaran kolektif seluruh elemen masyarakat.
“Kewaspadaan tidak boleh kendur. Jika lengah sedikit saja, kasus malaria bisa meledak kembali dan penanganannya jauh lebih sulit daripada menjaga kondisi yang sudah ada,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie, menyatakan optimisme tinggi bahwa target eliminasi akan tercapai sesuai jadwal.
Ia menyebutkan persiapan selama bertahun-tahun dan didukung berbagai kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (*)