Selasa, Agustus 19, 2025

Komunitas di Banjarnegara Sulap Sampah Plastik Jadi BBM

Share

PanenTalks, Banjarnegara – Bank Sampah Banjarnegara mampu membuat inovasi dalam mengolah sampah plastik bekas pakai menjadi bahan bakar minyak (BBM) bernilai ekonomis mendekati kualitas produk Pertamina, Dexlite.

Ketua Divisi Produksi Faspol 5.0 – Bank Sampah Banjarnegara (BSB), Endi Rudianto mengelola sampah plastik di BSB, melansir brin.go.id.

Pria (38 tahun) kelahiran Banjarnegara ini bersama rekan-rekannya di BSB berupaya mencari solusi dengan mengolah sampah plastik menjadi minyak bakar untuk kompor sumbu. Alasannya sampah plastik menggunung di sekitar rumah.

Sayangnya, pemerintah saat itu mulai gencar mempromosikan penggunaan kompor gas elpiji. Alhasil, warga mulai beralih secara perlahan dari kompor sumbu.

Pendiri komunitas BSB, Budi Trisno Aji, pada 2019 berhasil menemukan katalis atau zat aditif mampu memurnikan olahan sampah plastik menjadi bahan bakar diesel berkualitas tinggi.

Endi menyebutnya teknologi fast pyrolysis 5.0 atau Faspol 5.0. Sedangkan hasil BBM bernama Petasol. Proses pengolahan sampah plastik menjadi Petasol.

“Sampah plastik menjadi bahan baku utama berasal dari kantong kresek secara ekonomi tidak ada nilainya,” ungkap Endi dalam acara Media Lounge Discussion (MELODI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dia melanjutikan, pembakaran sampah sehingga menghasilkan cairan dan gas. Pemberian katalis pada cairan atau minyak bakar beri katalis sehingga tercipta Petasol.

Saat ini, lanjut dia, BSB memiliki mesin pengolah sampah dengan kapasitas 200 kilogram bahan baku sampah plastik yang dapat menghasilkan 170 hingga 180 liter Petasol.

“Kami tidak bisa memastikan 1 kilogram bahan baku dapat menghasilkan 1 liter Petasol. Sebagai gambaran, sampah kering bersih dapat menghasilkan 95 persen. Namun, untuk rata-rata sampah kering dan basah menghasilkan 70 hingga 80 persen,” ujarnya.

Selama ini, Petasol berguna untuk mesin-mesin pertanian dan kendaraan bermotor warga sekitar.

Selain menciptakan Faspol 5.0, pihaknya telah membuat mesin pembakar sampah sederhana untuk bank sampah di tempat lain. Endi menyebutkan, sudah 50 tempat di wilayah Indonesia sudah memanfaatkan mesin pembakar sampah serta teknologi Faspol 5.0. Selain itu, dia menekankan pentingnya pelatihan bagi operator alat.

“Setiap kami mengirim mesin dan teknologi Faspol 5.0, kami lanjutkan dengan pelatihan bagi operatornya, untuk memastikan mesin dapat menghasilkan produk sesuai SOP,” jelas Endi.

Terkait upaya menjaga kualitas produk, Endi menyebut peran laboratorium BRIN dan Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) untuk memantau kualitas Petasol.

“Kami bergabung (kolaborasi) dengan BRIN sejak 2022, terutama untuk uji lab Petasol dan uji termodinamika kendaraan,” ujar Endi.

Menurutnya, keterlibatan BRIN dalam uji kendaraan menggunakan Petasol dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memilih Petasol sebagai bahan bakar kendaraannya.

Petasol telah melalui serangkaian uji laboratorium di BRIN dan Lemigas. Hasilnya menunjukkan Petasol memenuhi standar bahan bakar setara minyak solar B0.

Selain itu, merk Petasol sudah memiliki sertifikat Hak Cipta dan nama Faspol juga sudah memiliki tanda daftar Paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Laboratorium BRIN, Lemigas, dan Universitas Diponegoro sudah melakukan pengujian mutu Petasol.

Nilai Ekonomis Daur Ulang Sampah Plastik

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup BRIN, Tri Martini memberikan gambaran nilai ekonomis dari daur ulang sampah plastik pengelolaan oleh BSB.

“Harga produksi Petasol per liter sekitar Rp6.160, sedangkan harga jualnya rekomendasikan Rp9.700, sehingga memperoleh keuntungan Rp3.540 per liter,” kata Tri.

Dia melanjutkan, pemberian keuntungan untuk pengelola BSB dan masyarakat. Dari hasil analisis break even point, investasi untuk kapasitas mesin 50-100 liter, estimasi dapat kembali dalam waktu 1,5 tahun.

“Selain itu, benefit cost ratio sudah di atas satu dengan revenue cost ratio di atas dua,” kata dia.

Artinya, aktivitas ini menguntungkan dan layak untuk pengembangan.

Namun, menurut Tri, mencermati kegiatan ini dapat berhasil replikasi di pedesaan untuk membantu petani dan nelayan. Ke dua profesi ini membutuhkan BBM untuk peralatan bekerja sehari-hari.

“Kondisi ini jika terus berlanjut, dapat menciptakan kemandirian energi di pedesaan mendukung kemandirian pangan sebagai cita-cita kita semua,” pungkasnya. (*)

Read more

Local News