PanenTalks, Yogyakarta – Organisasi Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) baru-baru ini mengungkap fakta mengkhawatirkan satu dari 10 anak di dunia, atau sekitar 188 juta anak usia sekolah dan remaja, kini mengalami obesitas.
Kondisi ini menandai pergeseran masalah kesehatan anak dari kekurangan berat badan menjadi kelebihan berat badan yang lebih dominan.
Prof. Dr. Lily Arsanti Lestari, Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, menekankan bahaya konsumsi ultra processed food (UPF) terhadap kesehatan, khususnya obesitas.
Dalam webinar nasional bertajuk “Kontroversi Ultra Processed Food: Inovasi Teknologi Pangan dan Tantangan Kesehatan Masyarakat” yang digelar pada Selasa, 16 September 2025, ia menjelaskan, “Efek ini dimediasi oleh mekanisme biologis kompleks, termasuk peradangan kronis, gangguan metabolisme, hingga perubahan mikrobiota usus.”
Lebih jauh, Prof. Lily mengingatkan pentingnya penelitian yang lebih standar serta kebijakan publik yang tegas untuk mengendalikan konsumsi UPF. Misalnya dengan penerapan cukai dan intervensi di berbagai tingkatan.
Hal sejalan juga diungkapkan Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si. Ia menyebutkan bahwa meskipun teknologi pengolahan makanan ultra processed membawa manfaat dalam hal ketersediaan, keamanan, dan umur simpan, produk UPF kerap dikaitkan dengan risiko kesehatan seperti obesitas dan diabetes.
“Kontroversi inilah yang penting kita bahas bersama antar peneliti dan akademisi dan pemangku kepentingan,” katanya.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, MSc, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, memberikan gambaran teknis tentang UPF sebagai produk industri yang menggunakan lebih dari lima bahan, termasuk berbagai aditif seperti protein terhidrolisis dan minyak terhidrogenasi.
Tujuan utama produk ini adalah menciptakan makanan yang praktis dan menguntungkan. Selain itu memiliki cita rasa tinggi sehingga bisa menggantikan makanan segar.
Meski demikian, Sri Raharjo mengingatkan agar fokus tidak hanya pada proses pembuatan, tapi juga pada tujuan dan dampak akhirnya, serta mendorong keterlibatan publik yang lebih besar dalam isu UPF.
Dari sisi industri, Ir. Mukhlis Bahrainy, CEO Pachira Group, menyoroti inovasi teknologi dalam UPF. Misalnya penggunaan modified protein untuk menciptakan tekstur creamy dan rendah lemak. Ia menegaskan pentingnya pemahaman konsumen:
“Makanan yang kita konsumsi tidak selalu buruk hanya karena masuk kategori UPF. Begitu juga makanan non-UPF tidak otomatis baik. Yang terpenting adalah kecerdasan konsumen dalam memilih dan mengkonsumsinya sesuai kebutuhan tubuh,” jelasnya.
Di bagian regulasi dan inovasi produk, Dra. Dwiana Andayani, Apt., Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, menyampaikan peluang besar dalam pengembangan produk olahan rendah gula dan berbasis bahan alami.
Contohnya adalah minuman sari nabati tanpa pemanis, protein bar rendah gula, roti gandum tanpa tambahan gula, hingga yoghurt rendah lemak.
“Peluang inovasi produk sehat semakin terbuka seiring meningkatnya kesadaran konsumen akan gaya hidup sehat,” pungkasnya. (*)