Selasa, Juli 29, 2025

Mengapa Jurnalisme Empati Penting dalam Kisah HIV/AIDS di Bali

Share

PanenTalks, Denpasar – Di balik setiap statistik penularan HIV/AIDS, terdapat kisah nyata manusia, perjuangan, dan harapan yang seringkali luput dari pemberitaan.

Inilah inti dari pesan yang digaungkan dalam pertemuan Koordinasi Kelompok Jurnalis Peduli AIDS (KPJA) di ruang rapat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali pada Senin (28/7/2025).

Pertemuan ini bukan hanya sekadar mengumumkan ketersediaan tes HIV/AIDS gratis di 120 puskesmas se-Bali, namun juga menjadi seruan bagi para jurnalis untuk merangkul jurnalisme empati.

Anak Agung Ngurah Patria Nugraha, Kepala Sekretariat KPA Provinsi Bali, memang menekankan pentingnya deteksi dini—terutama bagi mereka yang berisiko—sebagai langkah vital.

“Bahaya besar terjadi ketika seseorang terinfeksi HIV namun tidak menyadarinya, terutama mereka yang berperilaku seksual berisiko atau melakukan hubungan seksual di luar pernikahan,” ujarnya.

Namun, ia juga menyoroti bahwa pemeriksaan yang kini gratis di seluruh Bali ini hanyalah permulaan. Yang tak kalah penting adalah bagaimana kita memandang dan memperlakukan individu yang hidup dengan HIV/AIDS.

Inilah poin krusial yang diangkat oleh Penasihat KPA Bali, Rofiqi Hasan. Ia membedakan dengan jelas antara jurnalisme yang hanya berfokus pada angka dan statistik, dengan jurnalisme empati yang menggali kedalaman kisah kemanusiaan para penyintas HIV.

“HIV adalah persoalan kesehatan, bukan persoalan moral. Siapa pun bisa terinfeksi tanpa memandang latar belakang. Orang baik-baik pun bisa terpapar,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pengingat tajam bahwa virus tidak memandang status sosial, moralitas, atau latar belakang seseorang.

Rofiqi menyoroti bahwa stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih menjadi tantangan besar. Hal ini seringkali berakar pada kurangnya pemahaman dan mitos keliru yang beredar di masyarakat, seperti HIV mudah menular atau tidak dapat diobati.

Ia menekankan perlunya edukasi publik yang tepat dan berkelanjutan untuk meluruskan kesalahpahaman ini.

“Edukasi kerap ditolak karena dianggap mempromosikan seks bebas, padahal edukasi adalah kunci pencegahan. Informasi soal seks banyak diakses tanpa panduan yang tepat, mendorong remaja mencoba tanpa memahami risiko,” jelas Rofiqi.

Alih-alih melulu berfokus pada penghilangan perilaku berisiko—yang ia sebut sebagai pendekatan utopis—Rofiqi menganjurkan pendekatan pengurangan risiko yang lebih realistis dan efektif, seperti penggunaan kondom, akses jarum suntik steril, serta pendidikan seks dan kesehatan reproduksi yang komprehensif.

Bagi mereka yang terdiagnosis positif HIV, ia memastikan bahwa mereka akan mendapatkan konseling dan pendampingan dari tenaga kesehatan. Bahkan, mereka tetap bisa menjalani kehidupan normal, termasuk pernikahan, asalkan berada dalam pengawasan medis dan rutin mengonsumsi obat antiretroviral (ARV). Ini adalah kisah-kisah keberanian dan ketahanan yang perlu disuarakan lebih lantang.

Senada dengan semangat ini, Juny Umbara, Pengelola Program Media KPA Bali, berharap KPJA dapat terus berkembang sebagai komunitas jurnalis yang aktif dan independen dalam mengedukasi publik. “KPJA kami harapkan bisa lebih berdaya dan berkontribusi nyata dalam membangun Bali yang lebih sehat dan bebas stigma,” ujarnya.

Dengan menggeser lensa pemberitaan dari sekadar angka ke narasi yang lebih manusiawi, jurnalis memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah persepsi publik, meruntuhkan tembok stigma, dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS di Bali. (*)

Read more

Local News