PanenTalks, Yogyakarta – Nama ‘Raminten’ telah menjadi ikon kuliner sekaligus simbol budaya di Yogyakarta.
Di balik popularitas nama tersebut, tersimpan sosok visioner tak hanya piawai dalam berbisnis, tetapi juga berjasa besar dalam melestarikan budaya Jawa, beliau adalah Hamzah Sulaiman.
Tokoh multitalenta ini dikenal sebagai seniman, pengusaha, sekaligus budayawan, menciptakan konsep unik memadukan kuliner dengan kekayaan tradisi lokal.
Hamzah Sulaiman, dikenal luas dengan julukan Raminten, berpulang pada Rabu, 23 April 2025 dalam usia 75 tahun di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Gelar Kehormatan dari Kraton Yogyakarta
Sejarah Raminten juga tak lepas dari kehormatan disandang Hamzah.
Ia menerima gelar kebangsawanan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Kraton Yogyakarta, dengan nama Kanjeng Mas Tumenggung Hamijinindyo.
Gelar ini menjadi bentuk pengakuan atas dedikasinya dalam pelestarian seni, budaya, dan kontribusinya dalam dunia usaha memperkuat identitas Yogyakarta sebagai kota budaya.
Hamzah juga merupakan pemilik Hamzah Batik, yang sebelumnya dikenal dengan nama Mirota Batik Malioboro, salah satu pusat oleh-oleh dan batik terkenal di kawasan Malioboro.
Lahirnya Sosok Raminten dari Dunia Peran
Nama “Raminten” awalnya bukanlah nama bisnis, melainkan karakter fiksi diperankan oleh Hamzah Sulaiman dalam sebuah acara komedi situasi tayang di stasiun televisi lokal, Jogja TV.
Dalam acara tersebut, Hamzah memerankan sosok perempuan Jawa paruh baya lengkap dengan busana tradisional berkebaya, memakai jarik, dan berkonde.
Karakter Raminten dikenal humoris, gemar menari dan menyanyi tembang Jawa, serta tampil dengan sanggul besar dan kacamata bulat.
Sosok inilah yang mencuri perhatian masyarakat dan kemudian menjadi inspirasi utama dalam membangun brand kuliner kini begitu melegenda.
Dari Layar Kaca ke Dunia Kuliner
Kesuksesan karakter Raminten di layar kaca membawa Hamzah Sulaiman untuk mendirikan restoran dengan konsep sama pada tahun 2008.
Ia mendirikan The House of Raminten di Jalan Faridan M. Noto No. 7, Kotabaru, Yogyakarta.
Restoran ini tidak hanya sekadar tempat makan, tetapi juga menjadi ruang budaya yang menghadirkan atmosfer khas Jawa.
Bangunannya menyerupai rumah tradisional dengan interior dari kayu, aroma dupa yang menenangkan, serta alunan musik gamelan yang mengalun lembut di seluruh ruangan.
Tak ketinggalan, patung Raminten di depan restoran menjadi spot ikonik bagi wisatawan.
Ciri Khas Budaya dalam Setiap Sudut
The House of Raminten dikenal karena menyuguhkan pengalaman menyeluruh, mulai dari nuansa visual hingga suasana yang diciptakan:
– Arsitektur & Dekorasi: Perpaduan rumah Jawa klasik dengan sentuhan modern.
– Patung Raminten: Representasi tokoh Raminten yang menjadi ikon visual restoran.
– Aroma Dupa & Musik Gamelan: Memberi atmosfer tenang, sakral, dan tradisional.
– Pakaian Pelayan: Seluruh staf mengenakan pakaian adat Jawa, seperti kebaya, jarik, surjan, dan blangkon.
– Area Lesehan: Disediakan bagi pengunjung yang ingin merasakan suasana makan ala Jawa asli.
Menu Kreatif dengan Cita Rasa Tradisional
Daya tarik Raminten tidak hanya pada konsep visual, tetapi juga menu makanan dan minuman yang khas serta kreatif.
Hidangan yang disajikan memadukan resep tradisional dengan presentasi modern yang menggugah selera:
– Sego Kucing: Versi eksklusif dari nasi kucing dengan porsi dan lauk yang lebih lengkap.
– Ayam Koteka: Ayam yang dimasak dalam wadah bambu seperti koteka khas Papua.
– Sego Gudeg: Gudeg Yogyakarta disajikan dengan cara modern.
– Maheso Selo Gromo: Daging sapi berbumbu rempah khas Jawa.
– Bebek Lombok Ijo: Olahan bebek pedas dengan sambal ijo menggoda.
– Tempe Mendoan: Camilan tradisional dengan tampilan menarik dan saus spesial.
Untuk minuman, Raminten menawarkan:
– Es Kacang Merah: Segar dengan campuran santan dan gula merah.
– Wedang Uwuh: Minuman hangat dari rempah-rempah khas Jawa.
– Es Perawan Tancep: Minuman dengan nama nyeleneh namun rasa menyegarkan.
– Teh Purwoceng: Teh herbal dengan khasiat kesehatan.
Filosofi dan Warisan
Hamzah Sulaiman mendirikan Raminten bukan hanya untuk berbisnis, tetapi juga membawa misi pelestarian budaya.
Ia ingin Raminten menjadi ruang inklusif, tempat makan yang terjangkau dan bisa diakses semua kalangan, dari mahasiswa hingga wisatawan asing.
Dengan cara ini, ia memperkenalkan budaya Jawa secara langsung ke lidah dan hati pengunjung. (*)
Editor : Hendrati Hapsari