Sabtu, September 27, 2025

Menkeu Tarik Rp200 T dari BI, Ekonom Waspadai Depresiasi Rupiah

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Kebijakan ekonomi nasional kembali menjadi perbincangan setelah Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet pada Senin (8/9) lalu. Salah satu perubahan signifikan adalah penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani untuk periode 2025–2029.

Dalam rapat perdananya bersama DPR, Menkeu Purbaya menyatakan akan menarik dana sebesar Rp 200 triliun yang saat ini berada di Bank Indonesia. Tujuannya, menurut dia, adalah untuk memperkuat likuiditas dan menggerakkan sektor riil dalam perekonomian.

Langkah ini menuai tanggapan dari kalangan akademisi. Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Denni Puspa Purbasari, Ph.D., menilai kebijakan tersebut menitikberatkan pada dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja—sebuah strategi untuk mengejar keseimbangan internal.

“Akibatnya, dana mereka berpotensi dialihkan ke luar negeri. Apabila kondisi ini terjadi, kurs Rupiah akan terdepresiasi, yakni melemah terhadap mata uang asing,” kata Denni, Kamis (11/9/2025) di Kampus FEB UGM.

Denni menjelaskan bahwa menambah likuiditas dalam perekonomian memang bisa menjadi stimulus pertumbuhan. Namun, efek sampingnya adalah potensi penurunan suku bunga, yang bisa menyebabkan investor asing menarik dananya dari Indonesia, menilai negara ini kurang menarik dari sisi imbal hasil.

Dari sudut pandang ekonomi makro, lanjut Denni, penting bagi pemerintah untuk menyeimbangkan dua tujuan utama: stabilitas internal dan stabilitas eksternal. Keseimbangan internal dicapai ketika ekonomi domestik stabil, dengan inflasi terjaga dan tingkat pengangguran rendah. Sementara keseimbangan eksternal tercermin dari kondisi neraca transaksi berjalan yang selaras dengan arus modal internasional.

“Atau sebaliknya, kebijakan yang ditujukan untuk mengejar stabilitas eksternal, dapat berdampak negatif terhadap stabilitas internal negara itu,” tambahnya.

Menurut Denni, ada risiko inheren dalam setiap kebijakan yang diambil. Jika terlalu fokus pada salah satu sisi, bisa jadi sisi lainnya justru terganggu. Oleh karena itu, Menkeu Purbaya dinilainya perlu mempertimbangkan risiko depresiasi Rupiah yang bisa berdampak pada defisit neraca transaksi berjalan.

“Pak Purbaya perlu menimbang ini, agar depresiasi yang terjadi tidak terlalu drastis yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi dapat dibiayai,” tekannya.

Ia juga mengingatkan bahwa pengaturan likuiditas sebetulnya berada dalam domain Bank Indonesia. Sesuai mandat Undang-Undang, otoritas moneter ini bertanggung jawab menjaga stabilitas Rupiah, baik dari sisi inflasi maupun nilai tukar.

Kondisi terkini neraca pembayaran Indonesia pun mencerminkan tantangan yang tidak ringan. Berdasarkan data Bank Indonesia, semester I tahun 2025 mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,2 miliar dolar AS, dan neraca finansial juga mencatat defisit sebesar 5,6 miliar dolar AS.

Perbedaan ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2024, meskipun transaksi berjalan juga defisit, neraca finansial masih mencatat surplus meskipun tipis.

“Investasi portofolio sangat dipengaruhi oleh sentimen investor,” tegasnya.

Defisit pada neraca finansial disebabkan oleh arus keluar investasi portofolio, baik dari sektor obligasi maupun saham, yang mencapai 8 miliar dolar. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi oleh masuknya investasi langsung atau FDI yang hanya sekitar 5 miliar dolar.

Sepanjang tahun 2025, Rupiah memang relatif stabil terhadap dolar AS, hanya melemah 1,44 persen. Namun terhadap mata uang lain, depresiasinya lebih signifikan: 4,62% terhadap Yuan, 8,17% terhadap dolar Singapura, 8,68% terhadap dolar Australia, dan 14,42% terhadap Euro. (*)

Read more

Local News