PanenTalks, Solo – Universitas Sebelas Maret (UNS) menetapkan peraturan rektor nomor 7 tahun 2025 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan. Peraturan ini telah ditetapkan dan berlaku sejak 21 April 2025 lalu.
Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendiktisaintek) nomor 55 tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Rektor UNS Hartono menyampaikan bahwa keberadaan aturan ini menjadi bentuk komitmen nyata UNS dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif, setara dan bebas dari kekerasan.
”UNS secara aktif dan cepat memperbarui peraturan rektor untuk memperkuat perlindungan terhadap warga kampus dari segala bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan berbasis gender,” ujar Hartono melalui rilis yang dikirimkan, Senin (12/5/2025).
Kebijakan ini membahas mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT). Hartono menekankan bahwa kebijakan ini menjadi inisiatif yang bertujuan untuk memastikan prosedur penanganan berjalan adil, berpihak pada korban, serta menjamin rasa aman di lingkungan akademik.
Peraturan Rektor UNS Nomor 7 Tahun 2025 terdiri atas 13 Bab dan 87 Pasal yang memuat ketentuan umum, maksud, tujuan, prinsip, serta sasaran dari pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan UNS. Selain itu, peraturan ini juga menjabarkan bentuk-bentuk kekerasan, upaya pencegahan, tata cara penanganan, hingga pemberian sanksi administratif.
Bentuk kekerasan yang diatur dalam peraturan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan. Pencegahan dan penanganan dilakukan melalui penguatan tata kelola, edukasi, serta penyediaan sarana dan prasarana yang aman, nyaman, dan aksesibel bagi seluruh warga kampus.
UNS juga membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) yang merupakan unsur di bawah rektor. Satgas ini bertugas melaksanakan upaya pencegahan, menerima laporan, melakukan pemeriksaan, hingga merekomendasikan tindak lanjut atas kasus kekerasan di lingkungan kampus.
Satgas PPK UNS terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Komposisi Satgas PPK UNS minimal dua pertiga perempuan dan sepertiga mahasiswa dari total jumlah anggota.
”Kami menyadari pentingnya Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan sebagai garda terdepan dalam perlindungan korban kekerasan di kampus. Untuk itu UNS berkomitmen penuh dalam memperkuat kapasitas dan keberlanjutan kerja, baik dari sisi kelembagaan, sumber daya maupun kebijakan pendukung,” ungkapnya.
Komitmen UNS secara kelembagaan ditunjukkan dengan menempatkan Satgas PPK menjadi salah satu unit yang langsung berada di bawah rektor. Sehingga proses kerja satgas ini akan lebih efektif dan efisien. Proses penanganan kekerasan diatur secara rinci, mulai dari pelaporan yang bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai kanal.
”Sejumlah media dapat digunakan termasuk melalui telepon, surat elektronik, hingga kode QR pada laman media sosial resmi satgas,” jelasnya.
Setelah laporan diterima, tindak lanjut dilakukan dalam waktu maksimal tiga hari kerja. Penelaahan dan penyusunan rencana tindak lanjut dilakukan paling lama tujuh hari kerja. Proses dilanjutkan dengan tahapan penelaahan dan pemeriksaan selama 30 hari kerja. Kemudian Satgas PPK UNS akan melakukan penyusunan kesimpulan dan rekomendasi dalam waktu tujuh hari kerja. Rektor kemudian menindaklanjuti rekomendasi tersebut dalam kurun waktu lima hari kerja.
UNS berkomitmen menerapkan prinsip nondiskriminasi, keadilan gender, kepentingan terbaik bagi korban, serta jaminan keberlanjutan pendidikan bagi mahasiswa dalam setiap penanganan kasus kekerasan. UNS melarang adanya kekerasan dalam bentuk apapun di lingkungan kampus. Prinsip keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, dan keberlanjutan pendidikan akan menjadi pedoman utama UNS dalam menangani setiap kasus.
Peraturan ini mengatur tiga tingkatan sanksi administratif, yaitu ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan berupa teguran tertulis dan pernyataan permohonan maaf. Sanksi sedang bagi pelaku dari unsur dosen atau tenaga kependidikan berupa penurunan jenjang jabatan selama 12 bulan.
Sementara bagi mahasiswa berupa penundaan kuliah, pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak. Sedangkan sanksi berat berupa pemberhentian tetap bagi pelaku dari unsur dosen, tenaga kependidikan, atau mahasiswa, serta pemutusan kerja sama bagi mitra UNS.
Diharapkan, dengan adanya Peraturan Rektor ini, UNS dapat menjadi teladan dalam membangun budaya kampus yang inklusif, setara, dan bebas kekerasan di Indonesia. UNS mengajak seluruh warga kampus dan mitra untuk bersama-sama membangun lingkungan akademik yang aman dan ramah bagi semua. (*)
Editor: Ratih Kusumawanti