PanenTalks, Yogyakarta – Daya beli masyarakat yang melemah dan pola konsumsi yang bergeser pada akhirnya memunculkan istilah unik, ‘rojali’ (rombongan jarang beli) dan ‘rohana’ (rombongan hanya nanya).
Ini menjadi fenomena dan populer di pusat ritel, terutama mal. Pasalnya, mereka yang datang berkunjung ke mal belum tentu membeli barang atau produk.
Kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan memang mengalami kenaikan. Hanya saja kedatangan mereka tanpa ada aktivitas belanja yang signifikan.
Fenomena Sosial yang Tidak Hanya di Indonesia
Hal tersebut menjadi sorotan. Dan, fenomena ini populer dengan istilah ‘rojali’ dan ‘rohana’. Menariknya, fenomena sosial ini tak hanya terjadi di Indonesia.
Menurut I Wayan Nuka Lantara, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, situasi serupa terjadi di berbagai negara lain. Ini akibat tekanan daya beli dan perubahan pola konsumsi setelah pandemi.
“Secara global, daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan. Saya melihat fenomena serupa di negara-negara Asia maupun Eropa,” kata Wayan di Yogyakarta, Sabtu, 23 Agustus 2025.
“Di Jepang, orang lebih banyak window shopping tanpa membeli. Ini juga marak di Jerman. Jadi bukan hanya di Indonesia,” ujar dia lebih lanjut.
Wayan, lebih lanjut, menuturkan di Indonesia fenomena ‘rojali’ dan ‘rohana’ muncul sebagai dampak dari dua faktor utama.
Menurut dia kenaikan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, daging, hingga biaya transportasi mengakibatkan terjadi inflasi. Ini membuat masyarakat menyesuaikan prioritas pengeluaran mereka.
“Harga beras, daging, hingga transportasi mengalami kenaikan. Akibatnya, belanja nonesensial seperti pakaian atau produk gaya hidup di mal menjadi prioritas kedua,” kata Wayan yang seorang akademisi dengan menjadi dosen di Fakultas Ekonomi UGM.
Perubahan Pola Konsumsi
Kondisi ini memang tidak menjadikan mereka yang berkunjung ke mal mengalami penurunan. Pengunjung hanya untuk sekadar jalan-jalan atau mencari hiburan. Aktivitas belanja menjadi nomor sekian karena keterbatasan anggaran karena mereka memprioritaskan kebutuhan pokok.
“Faktor kedua yang turut memengaruhi adalah perubahan perilaku konsumsi sejak masa pandemi,” kata Wayan.
Wayan menyebut kebiasaan berbelanja secara daring tetap berlanjut pasca pandemi. Alasannya, konsumen menilai harga online lebih kompetitif. Ini merupakan perubahan perilaku konsumsi masyarakat.
“Banyak yang melihat produk secara langsung di pusat perbelanjaan. Tetapi mereka kemudian membelinya secara online karena lebih murah. Fenomena ini dikenal sebagai showrooming,” ujarnya.
Wayan memperingatkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut tanpa respons dari berbagai pihak, sektor ritel bisa mengalami pukulan telak. Penurunan transaksi di mal dapat berdampak pada kinerja bisnis, bahkan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Ada dua pihak yang perlu mendapat perhatian. Pelaku usaha ritel melalui insentif pajak atau stimulus tertentu seperti penyelenggaraan event di mal. Dari masyarakat melalui pengendalian inflasi agar daya beli terjaga. Tanpa itu, kelas menengah yang selama ini menopang konsumsi justru akan tergerus,” kata Wayan lagi.
Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ritel di Indonesia saat ini berada di bawah rata-rata negara-negara ASEAN, yang mencapai enam persen per tahun. Indonesia sendiri masih di bawah lima persen.
Menurut Wayan, ini merupakan sinyal yang harus direspon secara serius, terlebih mengingat mal di Indonesia tak sekadar menjadi tempat belanja, tetapi juga berfungsi sebagai ruang publik dan lapangan kerja bagi banyak orang.
“Sinergi pemerintah dengan dunia usaha ritel bisa makin kuat dengan penyelenggaraan dialog atau diskusi bersama asosiasi ritel Indonesia. Dengan demikian mereka bisa menyampaikan apa yang menjadi keluhan dan harapan,” ujar dia memungkasi. (*)