PanenTalks, Yogyakarta – Aksi demonstrasi yang terus bergulir di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta, menjadi perhatian serius kalangan akademisi.
Dalam diskusi bertajuk “Antara Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa: Menelaah Demonstrasi Indonesia Terkini” yang digelar di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM, para pakar dari Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa gelombang aksi ini bukan sekadar ledakan emosi sesaat. Ini merupakan cermin kegelisahan yang mengakar dalam masyarakat.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Munjid, menyampaikan bahwa kemarahan publik yang melandasi berbagai unjuk rasa hari ini lahir dari tekanan sosial ekonomi yang berlangsung lama bukan sekadar karena isu tunggal.
“Tindakan represif berlebihan hanya akan menambah amarah publik, karena pada dasarnya kemarahan masyarakat saat ini dipicu kondisi sosial ekonomi yang makin berat, bukan sekadar isu tunggal,” katanya.
Ia juga menyinggung soal keterputusan antara masyarakat dengan para wakilnya di parlemen. Menurut Munjid, diskoneksi ini diperparah oleh partai-partai politik yang tidak mengalami reformasi signifikan sejak era Reformasi 1998.
“Kalau kekuasaan tidak dipaksa dan dikontrol secara efektif, ia hanya akan bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk rakyat,” kata dia.
Munjid menekankan bahwa dalam situasi seperti ini, kampus dan media memegang tanggung jawab besar untuk menjaga suara kritis agar tetap terdengar.
Peran Sosial Media dan Kegagalan Reformasi Polisi
Sementara itu, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, melihat pola baru dalam gelombang demonstrasi belakangan. Ia menilai bahwa media sosial telah mengambil alih peran mobilisasi yang dulu dominan dimainkan oleh organisasi kemahasiswaan atau aktivis.
“Apa yang ditunjukkan saat aksi damai di Yogyakarta pada Senin lalu mencerminkan bagaimana masyarakat tetap bisa kritis dan menyuarakan pendapat dengan cara bermartabat, dan ini bisa menjadi role model bagi bangsa,” ujarnya.
Alfath juga menyoroti belum tuntasnya reformasi di tubuh kepolisian. Ia mengkritik bagaimana lembaga penegak hukum ini kerap dijadikan alat kekuasaan dalam satu dekade terakhir, bukannya pelindung rakyat.
“Negara telah gagal melindungi masyarakat, sehingga kemarahan publik muncul sebagai bentuk akumulasi kekecewaan atas kebijakan yang regresif,” ujarnya.
Kemarahan Gen Z Bukan Sekadar Tren
Dalam paparan yang lebih menekankan sisi psikologis, Prof. Dr. Faturochman, M.A., Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, membantah anggapan bahwa keterlibatan generasi muda dalam demonstrasi adalah karena ikut-ikutan. Menurutnya, ada kekecewaan mendalam yang menjadi dasar keterlibatan tersebut.
“Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita,” tuturnya.
Ia menilai bahwa partisipasi mahasiswa dan Gen Z mencerminkan sensitivitas tinggi terhadap keadilan sosial. Namun ia juga mengingatkan bahwa energi kolektif ini butuh kanal yang sehat agar tidak berubah menjadi kemarahan destruktif.
Lebih lanjut, Faturochman menekankan pentingnya relasi antara pemimpin dan rakyat yang dibangun di atas fondasi rasa hormat — bukan sekadar empati sesaat.
“Yang lebih mendasar dari empati adalah rasa hormat. Rakyat ini punya potensi besar, dan ketika tidak dihormati, maka kepercayaan akan hilang,” katanya.
Reformasi Struktural Jadi Tuntutan Mendesak
Menutup diskusi, para pembicara sepakat bahwa gelombang demonstrasi saat ini harus dilihat sebagai bentuk alarm sosial yang sah dan penting.
Mereka menolak pandangan yang menganggap aksi massa sebagai ancaman semata. Sebaliknya, demonstrasi merupakan ekspresi kegelisahan kolektif yang perlu dijawab dengan perubahan nyata.
Bukan hanya respons sesaat yang dibutuhkan, melainkan perombakan menyeluruh pada struktur politik dan kelembagaan negara. Dari reformasi kepolisian, pembenahan partai politik, hingga pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, semuanya menjadi bagian dari pekerjaan rumah yang tak bisa lagi ditunda.
Diskusi ini juga menyerukan pentingnya peran kampus, media, dan masyarakat sipil untuk terus menjaga ruang-ruang demokrasi dan memastikan bahwa suara kritis tidak dibungkam tetapi justru dihargai sebagai bagian dari kematangan berbangsa. (*)