PanenTalks, Yogyakarta – Para pakar Universitas Gadjah Mada menyoroti pentingnya peran Indonesia tampil lebih aktif di kancah diplomasi internasional, khususnya terkait isu nuklir dan keamanan kawasan.
Dosen Hubungan Internasional UGM dan anggota International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), Drs. Muhadi Sugiono, M.A., menjelaskan, konflik Iran–Israel menyimpan potensi besar memicu instabilitas global karena menyentuh langsung isu sensitif senjata nuklir.
“Sejak 1967, dunia telah berupaya keras agar senjata nuklir tidak dimiliki oleh negara-negara selain lima negara resmi pemilik senjata nuklir dalam perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT),” kata dia, Kamis 26 Juni 2025.
Muhadi menjelaskan, serangan Israel terhadap Iran terjadi bertepatan dengan pernyataan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyoroti ketidakpatuhan Iran terhadap komitmen dalam perjanjian NPT. Hal ini memperburuk ketegangan di saat negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat masih berlangsung.
“Jadi konflik ini merupakan konflik strategis tersendiri. Israel selalu ingin menjadi satu-satunya negara di kawasan memiliki senjata nuklir,” kata dia.
Dia melanjutkan, serangan ke berbagai target nuklir di Timur Tengah oleh Israel selama dua dekade terakhir menunjukkan obsesi ini. Iran menjadi target karena memiliki potensi nuklir serius, terutama dengan dukungan teknologi dari Rusia.
Muhadi menilai Indonesia belum menunjukkan kapasitas cukup berkontribusi aktif dalam konflik internasional berskala tinggi.
“Politik luar negeri kita cenderung sebagai safe player, kita selama ini berusaha menjaga jarak, tidak ikut campur, namun juga ingin berperan dalam perdamaian,” kata dia.
Ia pun mendorong agar Indonesia lebih proaktif memanfaatkan forum-forum internasional, khususnya berkaitan dengan rezim non-proliferasi senjata nuklir. Selain itu, memperjuangkan penerapannya secara adil, tidak hanya berdasarkan kepentingan negara-negara besar.
Peneliti senior di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Dr. Muhammad Najib Azca, M.A., melanjutkan, pendekatan lebih holistik.
Sosiolog ini melihat bahwa konflik Iran dan Israel tidak bisa lepas dari konflik panjang antara Israel dan Palestina. Selain itu, keterlibatan aktor regional seperti Hamas, Hizbullah, dan Suriah.
“Yang terjadi saat ini merupakan bentuk lanjutan dari konflik yang tidak pernah selesai. Hamas menjadi proksi Iran di Palestina, Lebanon, dan Suriah menjadi bagian dari dinamika ini. Kita berada dalam situasi global sangat tidak pasti dan penuh turbulensi,” katanya.
Ia menilai Indonesia harus memiliki posisi politik luar negeri lebih jelas dan tegas, agar tidak terseret dalam permainan geopolitik kekuatan besar. (*)
Editor : Hendrati Hapsari