PanenTalks, Yogyakarta – Langkah Uni Eropa memberikan relaksasi terhadap European Deforestation Regulation (EUDR) seharusnya menjadi momentum Indonesia melakukan reformasi tata kelola hutan. Hal itu tanggapan Prof. Ahmad Maryudi, pakar kebijakan kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai sikap Uni Eropa.
Menurut Ahmad, Indonesia seharusnya memanfaatkan kelonggaran dalam penerapan EUDR sebagai momentum memperkuat strategi transisi yang adil dan bertahap. Terutama dalam tata kelola hutan dan sektor pertanian yang terdampak.
Lebih lanjut, Ahmad Maryudi menilai bahwa langkah Uni Eropa memberi ruang relaksasi merupakan bagian dari proses diplomasi yang normal dalam hubungan internasional. Ia mengingatkan pentingnya sikap hati-hati dalam menyikapi standar baru ini.
Pendekatan Bertahap dan Terukur
“Perlu ada pendekatan yang bertahap dan terukur untuk menghadapi hal ini. Tetapi ini memang menjadi momentum memperkuat strategi transisi yang adil dan bertahap. Dalam hal ini tata kelola hutan dan sektor pertanian yang terdampak,” ujarnya, Rabu, 23 Juli 2025.
Ahmad menekankan tantangan dari regulasi anti-deforestasi ini tidak bisa hanya urusan sektor kehutanan semata. Sebaliknya, butuh koordinasi dan komunikasi lintas sektor—mulai dari pertanian, perdagangan, hingga hubungan luar negeri.
“Kita tidak bisa menolak arus regulasi global. Tetapi kita bisa dan harus mengatur irama kita sendiri. Dengan demikian transisinya adil, tidak memberatkan petani kecil, dan tetap menjaga keberlanjutan hutan,” katanya.
Ia juga mengingatkan EUDR bukanlah kebijakan pertama dari Uni Eropa terkait isu kehutanan. Sebelumnya sudah ada European Union Timber Regulation (EUTR) yang menargetkan perdagangan kayu ilegal.
Pada masa itu, Indonesia bahkan menjadi negara terdepan dengan implementasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Uni Eropa pun akhirnya menyetujui sistem itu melalui skema Voluntary Partnership Agreement (VPA).
“SVLK Indonesia, Maryudi mengatakan, menjadi satu-satunya sistem yang lolos penilaian Uni Eropa. Meski begitu, tetap saja ada mekanisme due diligence dari sisi importir Eropa yang memungkinkan kayu dari negara lain masuk tanpa sertifikasi formal,” jelasnya.
Perluas Cakupan Regulasi
Kini, melalui EUDR, Uni Eropa memperluas cakupan regulasi jauh lebih luas dari sekadar kayu. Komoditas strategis seperti sawit, kopi, kakao, daging, kedelai, hingga produk hasil hutan lainnya ikut tercakup.
“Seperti di Indonesia contohnya mereka memperluas cakupan, bukan hanya kayu, tapi juga sawit, kopi, kakao, hingga daging dan kedelai,” ujarnya.
Ahmad menyebut bahwa kebijakan baru ini menandai pergeseran besar: dari pendekatan legalitas ke pendekatan keberlanjutan yang lebih menyeluruh. Tidak hanya soal izin, tapi juga mengenai asal-usul lahan, dampaknya terhadap tutupan hutan, serta jejak deforestasi dari produk yang diekspor.
“Kalau benar-benar diimplementasikan dengan baik, regulasi ini bisa memperbaiki cara kita mengelola produksi kayu dan komoditas lainnya agar lebih bertanggung jawab,” ucap Ahmad.
Namun, ia juga menggarisbawahi risiko besar terhadap petani kecil, yang selama ini menjadi tulang punggung sektor komoditas ekspor seperti sawit, kopi, dan kakao.
“Ini sistem yang costly (mahal). Bahkan perusahaan besar saja belum tentu langsung siap. Apalagi petani kecil yang punya keterbatasan teknis dan finansial. Mereka jelas akan terdampak,” katanya.
Meskipun pasar Uni Eropa tidak selalu dominan bagi semua komoditas ekspor Indonesia, Ahmad mengingatkan bahwa pengaruh politik dan regulatif Uni Eropa di panggung global tidak bisa diabaikan.
“Uni Eropa sering jadi trend-setter regulasi global. Kalau mereka menetapkan standar, negara lain biasanya ikut menyesuaikan. Jadi meskipun pangsa pasar tidak dominan, kita tetap harus waspada karena tren globalnya mengarah ke sana,” ujar dia memungkasi. (*)