Sabtu, September 27, 2025

Pakar UGM Soroti Pentingnya Teknologi Irigasi Adaptif

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Subejo mengingatkan pentingnya strategi jangka panjang berbasis sains dan teknologi.

“Tingginya produksi tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk iklim yang relatif kondusif,” kata dia, Kamis 10 Juli 2025.

Dia melanjutkan, dua tahun sebelumnya, hujan bahkan baru datang pada Februari. Tapi tahun ini, curah hujan cukup sejak akhir tahun, sehingga luas lahan dapat tertanami meningkat.

Sebagai Guru Besar di bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Prof. Subejo menilai capaian tahun ini sebagai tertinggi dalam rentang tujuh tahun terakhir. Meski demikian, masih belum melampaui produksi pada 2018.

Selain faktor iklim, kebijakan pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram memberi stimulus ekonomi bagi petani.

“Harga yang stabil dan adanya jaminan penyerapan hasil panen oleh Bulog menciptakan rasa aman bagi petani dalam mengelola usaha tani mereka,” kata dia.

Dia menilai, kepastian harga juga mengurangi fluktuasi pasar sebelumnya seringkali merugikan petani ketika harga gabah anjlok saat panen raya.

Namun di balik keuntungan petani, kenaikan harga gabah ini berdampak pada naiknya harga beras di tingkat konsumen. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

“Harga gabah tinggi memang menguntungkan petani, tapi otomatis akan memicu kenaikan harga beras di pasar,” kata dia.

Hal ini merupakan hukum ekonomi. Jika tidak diintervensi lewat efisiensi proses pengolahan, harga beras bisa melonjak hingga melampaui harga eceran tertinggi.

Prof. Subejo menekankan pentingnya inovasi dan efisiensi dalam proses pasca panen untuk menekan harga beras di pasar. Modernisasi di tahap pengeringan, penggilingan, hingga distribusi menjadi kunci efisiensi biaya.

Ia menambahkan, mekanisasi pertanian dan teknologi seperti mesin penggiling berteknologi tinggi akan berdampak pada kualitas dan kuantitas hasil.

“Selain itu, ia mengatakan, inovasi seperti pengering bertenaga surya atau sistem pengolahan berbasis energi terbarukan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menekan biaya operasional secara signifikan.”

Meski proyeksi produksi meningkat sebesar 4,5 persen, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan produktivitas lahan.

“Selain penyediaan air yang memadai secara terus menerus, tentu nanti memilih jenis padi yang sesuai, mendampingi teknis produksi, kemudian memilih misalnya cara-cara pengendalian hama yang sesuai, ruang pengembangannya masih ada sebenarnya,” tambahnya.

Menjelang musim kemarau, penguatan infrastruktur irigasi menjadi krusial. Prof. Subejo merekomendasikan pengembangan sistem irigasi alternatif, seperti embung mikro. Pasalnya, lebih murah dan efektif untuk daerah-daerah kering.

UGM juga telah mengembangkan varietas padi adaptif bernama GAMAGORA cocok di lahan tadah hujan dengan kebutuhan air rendah.

Pemanfaatan teknologi berbasis energi terbarukan menjadi solusi. Pompa air tenaga surya dapat menjadi alat bantu produksi hemat biaya dan ramah lingkungan.

“Berkoordinasi melalui kebijakan lintas sektor yang melibatkan kementerian-kementerian terkait agar bisa secara bertahap di berbagai daerah,” pungkasnya. (*)

Editor : Hendrati Hapsari

Read more

Local News