Kamis, Juni 19, 2025

Pakar UGM Soroti Skala Produksi MBG

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Sri Raharjo menilai aspek keamanan pangan dalam penyajian makan bergizi gratis (MBG).

“Kalau makanannya tidak aman maka tidak boleh disajikan,” kata Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof. Sri Raharjo, Jumat (16/5).

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM mengatakan, penyebab keracunan makanan dua hal. Meliputi food intoxication atau keracunan akibat racun oleh bakteri dan food infection. Selain itu, infeksi akibat mengonsumsi bakteri patogen. Keduanya kerap terjadi tanpa tanda-tanda terlihat.

“Makanan bisa tampak dan terasa normal saat anak-anak mengonsumsi, tetapi efeknya baru muncul beberapa jam atau bahkan keesokan harinya,” ujarnya.

Menurut Raharjo, salah satu tantangan program MBG adalah skala produksi sangat besar. Oleh sebab itu, membutuhkan manajemen ketat dalam setiap tahap. Mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, hingga proses pemasakan.

“Kalau penyiapan 3.000 paket makanan itu bukan urusan dapur rumah tangga lagi. Harus ada fasilitas, alat, dan orang yang kompeten,” ujarnya.

Adapun keracunan makanan bisa berasal dari kesalahan atau kelalaian dari pengelola menu. Seperti penyimpanan bahan mentah tidak benar, pengolahan daging tidak merata atau peralatan tidak higienis.

“Daging dari pasar tradisional, misalnya, proses pembersihan tidak baik setelah proses pemotongan sehingga rentan terkontaminasi oleh kotoran atau isi usus hewan,” ungkapnya.

Prof. Raharjo menawarkan tiga solusi yaitu kesadaran, kapasitas, dan kontrol. Semua pihak harus memahami risiko dan menerapkan standar keamanan pangan secara disiplin.

“Kalau tidak tuntas panasnya, bakteri masih bisa hidup dan itu bisa menyebabkan sakit,” tegasnya.

Ia menekankan, memasak dalam skala besar memerlukan waktu lama. Durasi ini menjadi salah satu faktor kunci terjadi atau tidaknya kontaminasi.

Raharjo menyarankan, agar jumlah produksi makanan dalam program MBG berkurang. Ia memberikan contoh melalui sekolah-sekolah telah menyediakan makan siang sebelum program MBG.

“Beberapa sekolah kan sudah ada yang menjalankan program semacam ini, skalanya lebih kecil karena hanya untuk satu sekolah saja. Jadi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sekolah sehingga sekolah-sekolah itu kemudian bertanggung jawab dengan makanan siswanya masing-masing.” ujarnya.

Selain itu, ia menilai program tergesa-gesa mengingat Badan Gizi Nasional menargetkan peningkatan jumlah penerima MBG hingga 82,9 juta orang di tahun ini.

“Saya menyebutnya too much, too soon. Harusnya sekarang fokus pada skala kecil dulu, dibenahi, setelah itu baru pelan-pelan sekolah lainnya mulai dapat bagian,” tuturnya.

Program MBG, kata dia, dapat mencapai manfaat tanpa mengorbankan kesehatan siswa. Kolaborasi lintas sektor dan evaluasi berkelanjutan menjadi kunci agar insiden serupa tidak terulang di masa mendatang. (*)

Editor : Hendrati Hapsari

Read more

Local News