Kamis, Juni 19, 2025

Pakar UGM Dugaan Pemicu Sengketa Empat Pulau

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Pakar Ilmu Geodesi Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana menjabarkan, sejarah konflik dan dugaan penyebab sengketa terhadap empat pulau perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Dia menjelaskan, konflik Aceh-Sumut berawal dari proses pendataan geografis Indonesia oleh Tim Nasional era presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008.

Tim Nasional mendapat tugas dari pemerintah untuk membuat daftar laporan administrasi mengenai jumlah pulau di Indonesia sebagai laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Prosedur dengan cara pemerintah tingkat provinsi melaporkan jumlah pulau berada di wilayah administrasi. Proses sepanjang tahun 2008-2009 secara bergantian di setiap provinsi. 

“Bukan menentukan pulau mana milik siapa, jadi jika ada wilayah yang sudah terdaftar kemudian diajukan kembali oleh provinsi lain maka tidak akan didata karena sudah dihitung sebelumnya,” ungkap Andi, Selasa (17/6). 

Sumatera Utara mendaftarkan total 213 pulau termasuk empat pulau tersebut sebagai bagian dari provinsi pada tanggal 14-16 Mei 2008.

Dalam periode sama, Aceh pada 20-22 November 2008 tidak mendaftarkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratif.

Sebaliknya, ada empat pulau bernama Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang telah mengajukan pendaftaran. Namun menurut Andi, ada versi cerita berbeda menyebutkan, Aceh sempat berkeinginan untuk mendaftarkan pulau-pulau bersengketa.

Sumatera Utara tahun 2009 telah melakukan verfikasi hasil pendaftaran pertama. Sedangkan pemerintah Aceh justru mengajukan perubahan nama pada titik koordinat empat pulau tersebut.

Titik koordinat Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang. Lantas nama pulau berubah menjadi Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang.

Tetapi perubahan tersebut tidak bersamaandengan perubahan titik koordinat. Alhasil, data ini sempat membingungkan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Dugaan Andi, Aceh mungkin sebenarnya ingin memasukan empat pulau sengketa tersebut ke dalam wilayahnya. “Cikal bakal masalahnya di sini. Sumatera Utara sudah mendaftarkan dahulu, kemudian Aceh mendaftarkan tapi dengan titik koordinat yang salah. Secara administratif tentu yang datanya konsisten yang lebih dipercaya,” terang Andi. 

Bahkan seluruh data sejak 2008 terus mengacu ke Sumatera Utara, maka Kemendagri dalam surat-surat keputusan tertulis sesuai dengan data. Akibat polemik terus berlanjut, BIG dalam laporannya tahun 2021 mengatakan keempat pulau sengketa tersebut sebagai bagian dari Indonesia bukan Aceh ataupun Sumatera Utara. 

Kemudian sebuah dokumen baru rilis tahun 1992 pengajuan oleh Aceh tahun 2022. Dokumen tersebut memuat perjanjian batas wilayah provinsi antara Aceh dan Sumatera Utara.

Uniknya, dalam peta perjanjian tergambar wilayah Aceh mencakup empat pulau bersengketa. Sayangnya, pengajuan dokumen masih berbentuk salinan hitam putih bukan asli.

Andi menambahkan, jika dokumen ini sah maka seharusnya pemerintah Sumatera Utara dan Kemendagri turut menandatangani juga memiliki dokumen asli.

Selain soal administratif, Andi menjelaskan, empat pulau tersebut ternyata sudah ada aktivitas dari pemerintah Aceh.

“Pulaunya memang tidak berpenduduk, tapi Aceh sudah beraktivitas di sana jauh dari tahun 2008, tapi perlu digaris bawahi bahwa kekuasaan efektif seperti aktivitas atau pengelolaan sebuah wilayah hanya bisa diberlakukan apabila secara hukum sudah jelas,” ujarnya. 

Sedangkan polemik ini Andi masih menempatkan kekuatan administratif pada Sumatera Utara. Oleh sebab itu, penyelesaikan konflik memerlukan dokumen asli dari salinan dokumen pengajuan oleh Aceh. Selain itu, dokumen-dokumen lainnya mengenai empat pulau tersebut terbit sebelum tahun 2008.  (*)

Editor : Hendrati Hapsari

Read more

Local News