PanenTalks, Yogyakarta – Pangan bukan sekadar urusan dapur. Di tengah krisis iklim global, pilihan makanan ternyata bisa menjadi bentuk kepedulian terhadap lingkungan, terutama jika yang dipilih adalah pangan biru.
Itulah pesan utama dalam diskusi “Blue Bites: A Culinary Dive into Climate-Friendly Food Solutions” di Royal Ambarrukmo.
Pangan biru, yaitu bahan makanan yang bersumber dari laut, sungai, dan danau, tak hanya bernilai gizi tinggi. Ini juga memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. Dalam diskusi tersebut, berbagai pihak menyoroti pentingnya pilihan pangan itu.
Dr. Atin Prabandari dari Departemen Hubungan Internasional, Fisipol UGM, menggarisbawahi kontribusi perempuan dalam rantai pengelolaan pangan biru.
Ia menegaskan bahwa kerja perempuan sering kali luput dari perhatian. Kenyataannya, mereka memainkan peran dominan di sektor ini.
“Perempuan punya peran mayoritas dalam pangan biru, utamanya dalam pascapanen dan pengelolaannya. Angkanya ini bahkan lebih dari 60—70%,” ujar Atin.
Kesadaran Kontribusi Perempuan
Atin juga menekankan perlunya upaya untuk meningkatkan kesadaran terhadap kontribusi perempuan. Ini mulai dari perubahan pola pikir karena faktor budaya dan ekonomi.
Ia juga menyarankan pentingnya dokumentasi atas keterlibatan perempuan agar tercipta pemahaman bersama.
Menurutnya harus ada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai peran perempuan. Terutama adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat, khususnya dari aspek kultur dan ekonomi, termasuk bagi kalangan perempuan itu sendiri.
Selain itu perlu mendokumentasikan kerja-kerja perempuan di bidang tersebut sehingga mencapai kesadaran bersama mengenai perempuan dan pilihan pangan itu pada masyarakat.
Sementara itu, Dr. Tukul Rameyo Adi dari IPB University mengulas tentang konsep pangan biru dan blue bites—makanan berbasis perairan yang rendah jejak karbon.
“Pangan dari ikan, rumput laut, dan kerang kaya nutrisi dan mempunyai jejak karbon yang lebih rendah daripada daging merah. Pilihan tersebut bisa menopang ekonomi masyarakat pesisir serta perairan darat,” kata Tukul.
Pelestarian Kuliner Lokal
Perihal pelestarian dan pengarsipan kuliner lokal berbasis pangan biru juga menjadi sorotan. Meilati Batubara dari NUSA Indonesian Gastronomy Foundation membagikan pengalamannya mendokumentasikan lebih dari 500 resep dari berbagai penjuru Nusantara.
Ia menjelaskan bahwa tradisi konsumsi pangan biru sudah menjadi bagian dari warisan budaya masyarakat Indonesia sejak lama.
Mei memberikan contoh spesifik, seperti ikan poro-poro yang menjadi konsumsi masyarakat sekitar Danau Toba dan nyale, cacing laut khas Pulau Lombok.
Untuk itu, Mei terus mendukung pendokumentasian dan pencatatan pangan lokal berbasis pangan biru sebagai kekayaan kuliner Nusantara.
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara The 5th International Conference on Integrated Coastal Management and Marine Biotechnology.
Erwin Sabarini dari Climateworks Centre menjelaskan kegiatan ini bertujuan mengangkat konsep Blue Food Nexus melalui pengalaman mencicipi makanan berbasis air dan laut, sekaligus membuka ruang diskusi terkait pangan, kesehatan, laut, dan kebijakan iklim.
“Pangan biru itu bukan hanya mengenai bukan sekadar menu laut, tetapi juga wujud nyata aksi iklim yang berkeadilan,” kata dia. (*)