PanenTalks, Denpasar – Sabtu malam (28/6) di Panggung Terbuka Ardha Candra, Art Centre, Denpasar, bukanlah malam biasa. Ribuan pasang mata, bahkan jiwa-jiwa yang rela berdiri, terpaku pada panggung utama, menanti Utsawa (Parade) Gong Kebyar Legendaris.
Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah ritual seni yang telah lama dinanti dalam denyut nadi Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025.
Di tengah gamelan yang mengalun membelah hening, hadir Gubernur Bali, Wayan Koster, yang tampak larut dalam setiap dentingan dan gerak. Bersama Gubernur Koster, para punggawa penting seperti Bupati Badung Wayan Adi Arnawa, Bupati Buleleng Nyoman Sutjidra, Ketua DPRD Gianyar Ketut Sudarsana, dan Danrem 163/Wirasatya Brigjen TNI Ida I Dewa Agung Hadisaputra turut menjadi saksi bisu keagungan budaya.
“Satu kata, ‘Luar biasa’!” seru Gubernur Koster sembari menambahkan, para penarinya begitu energik, penabuhnya sangat luwes walau sudah berumur.
Namun, kekaguman Gubernur Koster tak berhenti pada pementasan semata. Ia menyingkap tabir di balik panggung, sebuah perjuangan sunyi yang tak banyak diketahui.
Para seniman ini, katanya, menempuh perjalanan panjang — setidaknya tiga bulan latihan intensif, empat jam setiap hari, demi merajut harmoni sempurna antara tabuh dan gerak tari. Kerja keras mereka sungguh patut diapresiasi.
“Inilah alasan saya bertahan menonton dari awal sampai akhir. Ini bentuk penghormatan tulus saya kepada mereka. Saya ingin mereka merasakan kepuasan, bahwa setiap tetes keringat dan jiwa yang tertuang dalam karya seni mereka benar-benar dihargai,” tuturnya.
Melampaui puji-pujian, Gubernur Koster menyerukan sebuah panggilan jiwa kepada seluruh masyarakat Bali.
“Masyarakat Bali patut mendukungnya, agar seni kita tetap hidup, tetap terjaga dengan baik, dan kualitasnya semakin baik,” pungkasnya.
Malam itu, panggung dibanjiri oleh tiga duta seni yang menorehkan jejak keindahan: Sekaa Gong Taruna Jaya dari Badung dengan Tabuh Pupuh Kaduhung, Tabuh Kreasi Kumbang Atarung, dan Legong Kreasi Widya Lalita; Sekaa Gong Kebyar Giri Kusuma dari Buleleng yang menghidupkan Tabuh Telu (karya almarhum I Nyoman Durpa, 1984).
Selanjutnya, Tabuh Kreasi Pudak Sumekar, dan Tabuh Bebarisan Sura Murti; serta Sekaa Gong Kusumatirta dari Gianyar yang memukau dengan Tabuh Telu Dharma Raksata Raksita, Tari Bebarisan karya kolektif Tampaksiring, Tabuh Kreasi Pepanggulan Jagra Kasturi, dan Tabuh Mayura Kencana.
Utsawa Gong Kebyar Legendaris bukan hanya sebuah pertunjukan; ia adalah jalinan benang merah yang mengikat generasi, daerah, pemimpin, dan rakyatnya.
Di sanalah, semangat kolaborasi, cinta budaya, dan kebanggaan akan jati diri Bali berpadu, membentuk sebuah mahakarya abadi yang akan terus berdenyut dalam jiwa. (*)