Sabtu, September 27, 2025

Pare Lokal, Potensi Global

Share

PanenTalks, Jakarta-Di tengah tren pangan sehat dan kekhawatiran global atas makanan sintetis, pare, sayuran pahit yang sering dicibir karena rasanya dan bentuknya yang mirip lidah, justru naik daun menjadi komoditas bernilai tinggi di pasar global.

Dalam laporan riset CNBC Indonesia Research, pare kini mendapat tempat istimewa di tengah meningkatnya tren konsumsi pangan fungsional dan keresahan dunia terhadap produk sintetis serta penyakit metabolik.

China tercatat sebagai produsen terbesar pare dunia. Lebih dari 50 persen produksi global berasal dari provinsi tropis seperti Guangdong dan Guangxi.

Pare China Mendominasi

Di sana, pare tak hanya menjadi masakan sayur, tetapi juga diolah menjadi kapsul, teh herbal, hingga produk ekspor ke berbagai negara seperti Hong Kong dan Amerika Serikat. Sinergi antara tradisi pengobatan Timur, iklim tropis, dan sistem pertanian industri menjadikan China mendominasi pasar.

Namun Indonesia perlahan mulai mencuri perhatian. Produk sayuran itu tumbuh subur di berbagai wilayah seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Pada 2023, Indonesia mencatat rekor ekspor tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 1.646 ton dengan nilai 1,94 juta dolar.

Singapura menadi tujuan ekspor dengan menyerap sekitar 75 persen dari nilai tersebut. Meski pada 2024 nilai ekspor mengalami koreksi menjadi 1,33 juta dolar, volume ekspor masih stabil di angka 1.243 ton. Ini menunjukkan daya saing kuantitas yang tetap terjaga.

Permintaan pare global tak hanya bergantung pada rasa, melainkan manfaat kesehatannya. Dalam sistem pengobatan tradisional seperti Ayurveda dan Traditional Chinese Medicine (TCM), pare mampu menurunkan kadar gula darah, menyeimbangkan hormon, dan menyegarkan fungsi hati—baik secara medis maupun spiritual.

Ini menjadikan pare sebagai simbol gaya hidup sehat yang sedang naik daun di kalangan komunitas vegan dan diaspora Asia.

Namun, Indonesia masih tertinggal dalam tahap hilirisasi. Tidak seperti China yang sudah mengembangkan varietas unggul, fasilitas pasca-panen, dan produk turunan bernilai tambah, ekspor pare dari Indonesia dominan dalam bentuk segar.

Ketergantungan pada produk mentah menjadikan Indonesia rentan terhadap kerugian nilai begitu produk meninggalkan lahan.

Minim Ekosistem Ekspor

Tantangan utama terletak pada minimnya ekosistem ekspor yang mendukung. Ketiadaan rantai dingin, standar kemasan internasional, dan infrastruktur logistik membuat pare Indonesia sulit bersaing dalam bentuk olahan.

Sementara negara pesaing terus memperluas inovasi dan branding produk, Indonesia perlu bertransformasi agar tidak sekadar menjadi penyedia bahan baku.

Pasar pare memang pahit dari sisi rasa, namun manis dari sisi potensi ekonomi. Dunia sedang bergerak ke arah pangan alami dan fungsional, dan Indonesia memiliki semua syarat untuk menjadi pemain utama. Namun Indonesia harus mampu mengangkatnya dari produk ladang menjadi simbol ekspor unggulan dengan dukungan sains, teknologi, dan kekuatan narasi budaya.

Read more

Local News