PanenTalks, Jakarta – Pemerintah Indonesia menargetkan buta aksara tuntas pada 2030 mendatang. Upaya ini dilakukan dengan memperkuat peran pendidikan nonformal dan informal (PNFI) melalui berbagai program keaksaraan yang fleksibel dan mudah diakses masyarakat.
Salah satu praktik baik datang dari Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Bupati Yahukimo, Didimus Yahuli, menegaskan komitmennya memberantas buta aksara dengan berbagai strategi di luar jalur formal.
“Kami terus berkomitmen untuk menekan buta aksara ini. Kami terus melakukan intervensi terhadap masyarakat. Setidaknya masyarakat usia 15–50 tahun di Yahukimo tidak ada yang tidak bisa baca dan berhitung,” kata Didimus saat acara Gebyar PNFI dan Perayaan Hari Aksara Internasional (HAI) 2025 di Jakarta, Jumat (26/9).
Melalui program Yahukimo Cerdas, Pemkab Yahukimo menggandeng berbagai pihak, mulai dari LSM, PKK, hingga tokoh agama. “Kami bekerja sama dengan beberapa yayasan, seperti Yayasan Serafim untuk kontrak guru dari Indonesia Cerdas. Kemudian, kami bekerja sama dengan kecamatan-kecamatan untuk memberantas buta huruf,” ujarnya.
Menurut Didimus, program literasi terus digencarkan dengan membangun pojok baca di 26 desa/kelurahan dan mendirikan perpustakaan daerah. Langkah ini menurunkan angka buta aksara dari 5.000 orang pada 2020 menjadi sekitar 2.000 orang pada 2024. “Cita-cita mendasar kami adalah bagaimana orang Yahukimo sehat, cerdas, tahu baca dan tahu hitung agar mereka percaya diri, kreatif, dan mandiri,” tegasnya.
Ketua Umum DPP Forum Komunikasi PKBM Indonesia, Tuppu Bulu Alam, menilai pendidikan nonformal dan informal sangat efektif. “Program-program PNFI dirancang fleksibel untuk membantu masyarakat yang belum pernah mendapat pendidikan formal mengatasi buta aksara. Bahkan, program ini berbasis komunitas dan melibatkan tokoh masyarakat maupun tokoh agama agar hasilnya lebih signifikan,” ujarnya.
Ketua Ikatan Pamong Belajar Indonesia, Eko Dadi Saputra, juga menekankan pentingnya PNFI. “PNFI bukan hanya menuntaskan buta aksara, tapi juga menyediakan layanan pendidikan kesetaraan yang akan membantu meningkatkan rata-rata lama sekolah, yang berpengaruh langsung pada Indeks Pembangunan Manusia,” jelasnya.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin, menyampaikan program yang sudah berjalan sepanjang 2025. “Kami menyalurkan bantuan operasional penyelenggaraan keaksaraan bagi 35.000 penerima, masing-masing Rp600 ribu per orang, serta memperkuat pemberdayaan perempuan dan remaja,” ujarnya.
Ia menambahkan, ada pula program revitalisasi lebih dari 150 satuan pendidikan nonformal, digitalisasi pembelajaran di 3.000 satuan pendidikan, hingga pengembangan relawan pendidikan berbasis komunitas. “Kami juga terus meningkatkan kolaborasi agar target dari 0,9 persen itu bisa terus ditekan dalam lima tahun,” pungkas Tatang.