PanenTalks, Denpasar -Dalam suasana Denpasar yang penuh diskusi hangat, isu Surat Edaran Gubernur Bali No. 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah mencuri perhatian publik.
Komunitas Maludong bersama Jaringan Jurnalis Peduli Sampah (J2PS) tampil di garis depan untuk memberikan suara mereka, tidak hanya mengapresiasi langkah ini, tetapi juga menyoroti celah yang harus diisi.
Komang Sudiarta, dikenal dengan nama panggilan hangat “Komang Bemo,” adalah tokoh utama yang menghidupkan perdebatan ini. Dengan suara lantangnya, sang pendiri Maludong tidak sekadar memuji regulasi, namun menantang pendekatannya.
“Regulasi hanyalah permulaan,” kata Bemo penuh semangat. “Tanpa edukasi publik, aksi nyata di lapangan, dan sanksi yang tegas, peraturan ini hanya akan menjadi dokumen tanpa taring.”
Sambil menyusuri sejarah 16 tahun berdirinya Maludong, sebuah organisasi nirlaba yang mengakar kuat di Bali, Komang Bemo mengungkapkan keprihatinan mendalam tentang pola pikir masyarakat.
“Kami telah mendatangi hampir 200 sekolah, mencoba mengubah pola pikir generasi muda. Tapi bagaimana bisa aturan seperti SE ini sukses jika infrastrukturnya, seperti tempat pengolahan sampah, belum siap?” tanyanya dengan nada kritis.
Bahkan penggunaan botol plastik yang terbatas tidak akan efektif tanpa strategi dan analisis yang matang.
Pendapat ini diamini oleh Ketua J2PS, Agustinus Apollo Naris Daton, atau akrab dipanggil Polo.
Dalam gaya bicara yang tegas namun bernuansa optimisme, Polo menggambarkan situasi ini sebagai “macan ompong” bila tidak diiringi penegakan hukum yang tegas.
“Kami mendukung sepenuh hati, tetapi jika kekuatan hukumnya lemah, hasilnya pun tidak akan maksimal,” tegasnya.
Polo mengingatkan bahwa di balik SE ini ada berbagai regulasi terdahulu yang seharusnya menjadi fondasi kokoh, seperti Pergub No. 47 Tahun 2019 dan Pergub No. 97 Tahun 2018. Namun, tantangan terbesar justru terletak pada keberlanjutan implementasi dan komitmen industri untuk ikut berpartisipasi.
Sebagai salah satu langkah penting, komunitas ini menyerukan dialog terbuka antara pemerintah dan para produsen.
“Kami membutuhkan jalur komunikasi yang jujur dan efektif, sehingga langkah ke depan bukan sekadar seremonial,” pungkas Polo dengan harapan besar. (*)