PanenTalks, Yogyakarta – Rencana pemerintah Indonesia menambah kepemilikan saham sebesar 12 persen di PT Freeport Indonesia menuai kritik dari kalangan akademisi. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, menilai kebijakan tersebut justru berisiko menurunkan penerimaan negara dari dividen di masa depan.
Dengan penambahan 12 persen tersebut, Indonesia akan menguasai hingga 63 persen saham Freeport. Pemerintah, melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyebut proses negosiasi dengan Freeport sudah difinalisasi. Penambahan saham ini juga akan diikuti dengan perpanjangan izin tambang Freeport hingga 2061.
Namun menurut Fahmy, keuntungan dari tambahan saham tersebut tidak sepadan dengan konsekuensi jangka panjang yang harus ditanggung. Apalagi, Freeport dalam waktu dekat akan memasuki fase kegiatan tambang bawah tanah (undermining) yang memerlukan investasi sangat besar.
“Benefit diterima Indonesia hanya sebatas kenaikan deviden saja. Padahal Freeport akan mulai undermining yang membutuhkan investasi dan biaya operasional membengkak. Ini bakal menurunkan laba yang pada gilirannya mengurangi deviden,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis lalu.
Fahmy menekankan bahwa dengan meningkatnya biaya operasional dan investasi di fase undermining, dividen yang diterima negara bisa menurun drastis, bahkan nihil, apabila Freeport mengalami kerugian usaha.
“Bahkan dimungkinkan tidak akan dapat deviden kalau Freeport mengalami rugi usaha di kemudian hari akibat membengkaknya biaya untuk proses undermining,” kata dia menerangkan.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah membatalkan rencana penambahan saham tersebut, terutama karena Memorandum of Understanding (MoU) belum ditandatangani secara resmi. Menurutnya, langkah pembatalan masih memungkinkan, terutama jika mengedepankan prinsip kepentingan nasional.
“Presiden Prabowo saya kira masih bisa membatalkan kesepakatan tersebut dengan pertimbangan kepentingan negara,” ungkapnya.
Fahmy juga menggarisbawahi bahwa jika mempertimbangkan antara biaya dan manfaat yang diperoleh, maka kebijakan ini lebih banyak membawa potensi kerugian.
“Karena itu, kebijakan penambahan saham 12 persen yang diikuti perpanjangan izin kontrak sebaiknya dibatalkan,” tegasnya.
Rencana penambahan saham ini sendiri terjadi di masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun tanggung jawab pelaksanaan ke depan akan berada di tangan pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto. (*)