PanenTalks, Yogyakarta – Upaya pemerintah dalam mengembangkan energi baru terbarukan terus dilakukan, salah satunya melalui peningkatan kapasitas listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Pemanfaatan sumber daya alam ini dinilai strategis untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Namun, pengembangan PLTP juga menghadapi tantangan tersendiri, terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan teknologi yang memadai.
Geolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Pri Utami, menjelaskan bahwa sebagian besar pengembangan panas bumi di Indonesia masih terfokus pada kawasan gunung api Kuarter dengan sistem hidrotermal bertemperatur tinggi.
Ia menekankan bahwa tingkat keberhasilan dalam menemukan sumber panas bumi sebelum pengeboran masih cukup rendah, yakni hanya 50 persen. Selain itu, biaya pengeboran per sumur yang bisa mencapai USD 10 juta menjadikan eksplorasi sebagai investasi yang berisiko tinggi.
“Menurunkan risiko tersebut butuh investasi berupa penelitian geosains (geologi, geokimia, dan geofisika) untuk menduga keadaan bawah permukaan secara lebih rinci. Teknologi pemboran juga perlu ditingkatkan agar dapat mengakses ke dalam dengan lebih cepat,” kata dia di Yogyakarta, Sabtu, 13 September 2025.
Menurut Pri, secara teori pemanfaatan energi panas bumi bisa di mana saja karena tersebar merata di seluruh permukaan bumi. Meski demikian, eksplorasi masih terbatas pada sistem dengan temperatur tinggi yang memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti keberadaan fluida panas dengan suhu 225–300°C, komposisi kimia yang bersahabat, pH netral, batuan permeabel, serta kedalaman sumber antara 1 hingga 3 kilometer.
Meski butuh biaya tidak sedikit, Pri menyatakan bahwa potensi manfaat dari energi panas bumi sangat besar. Tidak hanya dalam hal penyediaan listrik, tetapi juga terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
“Pelaksanaan proyek pengembangan mulai dari eksplorasi hingga pengembangan lapangan membutuhkan tenaga kerja lokal yang sangat banyak. Selain itu membuka peluang usaha pendukung seperti catering, akomodasi, transportasi, jasa dan lain-lain,” ujar dia.
Ia menambahkan bahwa beberapa lapangan panas bumi bahkan memiliki potensi menghasilkan produk samping seperti endapan mineral, yang bisa digunakan sebagai pupuk untuk mendukung ketahanan pangan.
“Upaya peningkatan pasokan energi listrik lewat energi panas bumi ini mendorong peningkatan ketahanan pangan,” ungkapnya.
Namun demikian, Pri juga mengingatkan adanya dampak lingkungan dari aktivitas pengembangan panas bumi. Ia menyebutkan beberapa risiko seperti debu dari mobilisasi alat berat, kebisingan saat pengeboran, serta perubahan lanskap.
Meski begitu, ia menekankan bahwa berbagai mitigasi bisa dilakukan sejak awal agar dampaknya bisa ditekan seminimal mungkin.
“Dengan cara pembersihan area terdampak, memasang instalasi peredam suara, penggunaan mesin pemboran yang modern, penanaman kembali pada area yang dibuka sementara untuk operasional pemboran, dan masih banyak lagi,” jelasnya.
Dari sisi sosial, tantangan lain adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai energi panas bumi. Pri menilai perlunya pendekatan edukatif dan kebijakan yang tepat dalam memperkenalkan jenis energi ini.
Ia mengingatkan bahwa panas bumi sebaiknya tidak diposisikan sebagai komoditas seperti migas atau batu bara, melainkan sebagai sumber energi strategis yang mampu bersaing dengan energi fosil.
“Untuk menjadikannya harganya lebih kompetitif maka harus ada investasi SDM untuk menurunkan risiko biaya eksplorasi dan meningkatkan keandalan teknologi pemanfaatannya,” katanya. (*)