PanenTalks, Denpasar – Fenomena limbah makanan (food waste) menjadi sorotan utama. Data terbaru menunjukkan perilaku konsumsi di kalangan remaja, terutama yang dipengaruhi oleh komunikasi digital dan tren kekinian, menjadi salah satu pemicu signifikan peningkatan jumlah limbah makanan.
Dampak yang ditimbulkan tidak hanya merugikan secara ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memperburuk isu ketahanan pangan.
Hal ini diungkapkan Dr. I Nengah Muliarta, akademisi dari Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi (FPST) Universitas Warmadewa (Unwar), dalam webinar bertajuk “Menguatkan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Pertanian Berkelanjutan dan Konsep Zero Waste” pada Sabtu, 26 Juli 2025 lalu.
Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara food waste dan food loss. Food waste didefinisikan sebagai makanan siap konsumsi yang seharusnya dapat dimakan manusia, namun terbuang sia-sia, hilang, rusak, atau dikonsumsi hewan. Ini terjadi pada tahap ritel dan konsumsi akhir, seringkali akibat keputusan konsumen seperti pembelian berlebihan atau sisa makanan dari piring.
“Secara global, diperkirakan 33% dari seluruh makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang di berbagai tahapan rantai pasok, mulai dari pertanian hingga rumah tangga,” jelas Muliarta.
Berbeda dengan food waste, food loss terjadi di tahap awal rantai pasok karena masalah infrastruktur, hama, atau cuaca ekstrem.
Muliarta menyebutkan, promosi makanan yang agresif di media sosial dan tren gaya hidup instan sangat memengaruhi remaja. Dorongan untuk membeli makanan berlebihan, ditambah dengan kurangnya pengetahuan tentang dampak pemborosan makanan serta pengaruh teman sebaya, turut memperparuk perilaku konsumsi mereka.
Dampak dari limbah makanan sangat masif. Dari sisi sosial dan ekonomi, food waste menyebabkan hilangnya nutrisi penting yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan gizi jutaan orang. Selain itu, limbah pangan memperparah ketimpangan pangan, menciptakan kesenjangan antara kelompok yang berkecukupan dan yang kelaparan.
Dari segi lingkungan, limbah makanan yang kaya bahan organik akan terurai dalam kondisi tanpa oksigen, menghasilkan gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Gas metana sendiri memiliki potensi pemanasan global 25-28 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida. “Secara keseluruhan, food waste berkontribusi sekitar 3,3 gigaton CO2 per tahun terhadap emisi gas rumah kaca, serta menyebabkan pemborosan air, lahan, dan sumber daya alam lainnya,” ungkap Muliarta.
Muliarta menambahkan bahwa masalah limbah makanan ini bukan hanya tentang produksi, melainkan juga distribusi. “Meskipun pasokan makanan di dunia cukup untuk semua orang, akses dan distribusinya masih belum merata. Padahal pangan yang terbuang dapat dialihkan untuk mengurangi kelaparan melalui redistribusi pangan layak konsumsi, misalnya melalui bank makanan,” paparnya.
Guna mengatasi masalah limbah makanan, berbagai pemanfaatan dapat dilakukan, seperti pengomposan untuk pupuk organik, biokonversi menggunakan serangga seperti maggot untuk pakan ternak dan sumber protein, serta inovasi daur ulang untuk menciptakan produk bernilai tinggi seperti energi terbarukan. Konsep ekonomi sirkular juga didorong untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan kembali sumber daya.
Prof. Ir. Irawati Chaniago, RurSc., PhD dari Universitas Andalas, memprediksikan bahwa pada tahun 2050 dunia akan membutuhkan 70% kalori lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar orang. Tantangan utamanya adalah bagaimana menjaga produktivitas dan kelestarian lingkungan dengan cara memperbaiki cara produksi dan konsumsi pangan.
“Tantangan lainnya mengurangi limbah pangan yang mencapai 1,3 milyar ton/tahun, dengan nilai kerugian ekonomis $1 triliyun,” kata Irawati.
Dekan Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa, Prof. Dr. Ir. Luh Suriati, M.Si, menegaskan di era pertanian berkelanjutan, fokus tidak hanya pada peningkatan hasil, tetapi juga pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
“Dengan meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya, kita dapat menciptakan sistem pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Melalui inovasi dan kolaborasi, kita bisa mencapai tujuan ketahanan pangan yang berkelanjutan,” ungkap Suriati.
Webinar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam bagi mahasiswa tentang tantangan ketahanan pangan dan bagaimana menerapkan teori dalam praktik nyata. Mahasiswa diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang aktif dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui praktik pertanian yang berkelanjutan. (*)