PanenTalks, Yogyakarta – Kebijakan penonaktifan fitur live di aplikasi TikTok saat berlangsungnya aksi unjuk rasa baru-baru ini memicu sorotan publik. Langkah ini dianggap mengekang ruang publik digital, khususnya dalam konteks penyampaian informasi secara langsung oleh warga.
Selama berlangsungnya aksi protes, banyak peserta dan masyarakat umum memanfaatkan fitur TikTok Live untuk mendokumentasikan dan menyebarkan situasi lapangan secara real-time.
Fitur ini memungkinkan publik untuk melihat langsung kejadian tanpa melalui proses penyaringan media konvensional. Oleh karena itu, kebijakan penonaktifan fitur tersebut memunculkan kritik karena dinilai mengekang kebebasan berekspresi dan menghambat jurnalisme warga.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Syaifa Tania, S.I.P., M.A., menyampaikan bahwa keputusan menonaktifkan fitur tersebut merupakan hal yang patut disayangkan.
“Penonaktifan fitur ini tentu mengakibatkan masyarakat kehilangan satu saluran informasi yang penting untuk berbagi informasi secara langsung,” kata Tania.
Menurut Tania, TikTok Live memiliki kelebihan dalam penyampaian informasi yang cepat, minim intervensi, serta menjangkau audiens yang luas di dunia digital. Kecepatan penyebaran informasi melalui platform ini bahkan kerap melampaui media arus utama.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa keputusan ini berasal dari kebijakan internal platform, sebagai upaya mencegah penyebaran konten kekerasan dan ujaran kebencian. Namun demikian, Tania menilai bahwa saat ini justru publik membutuhkan ruang komunikasi yang lebih terbuka. “Namun, dalam kondisi saat ini masyarakat justru membutuhkan platform untuk memfasilitasi proses komunikasi yang lebih terbuka,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa media sosial saat ini bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga menjadi ruang digital bagi publik untuk menyuarakan pendapat secara kolektif. Oleh karena itu, pembatasan terhadap fitur seperti TikTok Live berpotensi membatasi hak masyarakat dalam berekspresi.
Selain aspek kebebasan berpendapat, Tania juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap sektor ekonomi digital. Banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta affiliator yang memanfaatkan fitur live untuk aktivitas pemasaran melalui TikTok Shop. Penonaktifan fitur ini tentu menghambat kegiatan mereka. “Saya kira harus disikapi dengan bijaksana,” ujarnya lagi.
Tania menegaskan pentingnya keseimbangan antara moderasi konten demi keamanan publik dan keberlangsungan aktivitas ekonomi digital. Ia menyarankan agar kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan proporsionalitas risiko, transparansi alasan, serta durasi penonaktifan layanan.
“Untuk mendorong ekonomi digital tetap berjalan maka optimalisasi fitur Shop perlu dilakukan dengan berbagai mekanisme pemasaran yang bertujuan agar proses ekonomi tetap berlangsung”, terangnya.
Sebagai langkah adaptif, pelaku usaha disarankan untuk tidak hanya mengandalkan satu platform. Diversifikasi media komunikasi pemasaran menjadi strategi penting agar kegiatan ekonomi digital tetap berlanjut. “Dependensi terhadap satu platform saja mengakibatkan ketergantungan bagi UMKM sehingga membangun keragaman media promosi perlu dilakukan,” jelas Tania.
Ia juga mendorong para pelaku usaha memanfaatkan berbagai fitur live yang tersedia di platform lain, serta mulai mengembangkan materi promosi non-live seperti katalog produk, reels, dan ulasan produk.
“Meski mungkin penekanan promosi dirasa paling optimal di satu platform tertentu, namun perlu mulai membangun diversifikasi promosi di beragam kanal platform lain yang nantinya bermanfaat pula untuk ekspansi target pasar,” kata dia memungkasi. (*)