Rabu, Juni 18, 2025

Pergantian Kekuatan Ekonomi Global: Tiongkok Siap Merebut Takhta Dagang AS?

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Perdagangan Tiongkok mencatatkan pertumbuhan signifikan dalam kurun waktu hampir 25 tahun. Berdasarkan data dari Visual Capitalist, nilai perdagangan Tiongkok pada tahun 2000 tercatat sebesar US$ 474 miliar, jauh di bawah Amerika Serikat yang mencapai US$ 2 triliun. Namun, pada tahun 2024, nilai perdagangan Tiongkok mengalami lonjakan menjadi US$ 6,2 triliun, melampaui nilai perdagangan Amerika Serikat sebesar US$ 1 triliun.

Dalam periode 24 tahun tersebut, nilai perdagangan Tiongkok tumbuh sebesar 1.200 persen atau rata-rata sekitar 11 persen per tahun. Sebagai perbandingan, nilai perdagangan Amerika Serikat hanya tumbuh 167 persen atau sekitar 4 persen per tahun dalam periode yang sama.

Pada tahun 2000, mitra dagang utama Tiongkok terbatas pada sejumlah kecil negara, termasuk Kuba, Iran, Libya, Myanmar, Mongolia, Korea Utara, Oman, Sudan, Tanzania, dan Vietnam. Akan tetapi, pada tahun 2024, jumlah negara yang menjadikan Tiongkok sebagai mitra dagang utama lebih banyak dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Pergeseran ini juga terlihat pada beberapa sekutu Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan, yang kini memiliki intensitas perdagangan yang lebih tinggi dengan Tiongkok. Indonesia juga mengalami perubahan tren, di mana pada tahun 2000 intensitas perdagangan lebih tinggi dengan Amerika Serikat, namun kini lebih banyak berinteraksi dalam perdagangan dengan Tiongkok.

Pakar Ekonomi Politik Internasional UMY Profesor Faris Al-Fadhat memprediksi, dalam 10 tahun ke depan kekuatan dagang Cina akan menggeser dominasi Amerika Serikat (AS). Di satu sisi, AS belum siap memberikan posisi teratas untuk Cina.

Menurut Faris, kebijakan tarif yang diberlakukan AS ke berbagai negara, merupakan sebuah upaya untuk menghalau pertumbuhan ekonomi Cina. Pemerintah AS berharap, langkah tersebut bisa memperlambat ekonomi Cina.

“AS ingin menarik kembali negara-negara yang mesra dengan Cina untuk balik ke gerbong AS melalui kebijakan tarif impor,” ujar Faris melalui siaran pers tertulis, Rabu (30/4).

Apalagi AS merupakan sponsor terbesar untuk IMF, World Bank, dan WTO. Sementara itu, Cina selama beberapa dekade hingga sekarang masih giat membangun kekuatan ekonomi melalui proyek mega infrastrukturnya, yakni AIIB (Asian Infrastructure Invesment Bank) dan BRI (Belt Road Initiative).

Menurut beberapa ahli ekonomi, Cina pasti akan menggeser posisi nomor satu AS sebagai kekuatan ekonomi dunia. Faris pun senada dengan pernyataan ini. “tu pasti,” ucapnya. (*)

Editor: Rahmat

Read more

Local News